Saturday, September 17, 2011

Kerendahan Hati

Waktu kita kecil, orang dewasa sering bertanya kepada kita, “Kalo udah gede mau jadi apa?” dan kita menjawab dengan obsesi kita sebagai bocah, sehingga terkadang kita bilang ingin jadi presiden – karena melihat di televisi bagaimana seorang presiden dielu-elukan. Dan ketika akhirnya kita tumbuh menjadi manusia dewasa, kita lalu mengarahkan tujuan hidup kita kepada apa yang menjadi obsesi kita saat itu, yang mungkin saja tetap ingin jadi presiden karena melihat betapa enaknya jadi presiden. Namun... ini adalah bagian pahitnya, kalau keinginan jadi presiden itu tidak tercapai, apakah kita sudah menyiapkan Plan B-nya? Juga menyiapkan Plan B dari Plan B dari Plan B dari... dan seterusnya. Misalnya, pada ujung yang paling apes, “Yah... jadi wakil Ketua RT doang juga nggak apa-apa, deh...!” Sudah disiapkan?

Jujur, seringkali, belum. Begitu, kan? Mengapa? Karena tidak ada seorang pun yang bisa merelakan bahwa dirinya mungkin hanya akan menjadi pecundang di dalam sebuah persaingan. Dan hidup ini adalah persaingan, kan? Jadi, apa kita sudah siap untuk kalah? Sebab kalau untuk menjadi pemenang, semua orang selalu bilang, “Saya sudah siap!” Walaupun kenyataannya, ternyata belum juga. Sekali lagi, mengapa? Karena kita lebih memperturutkan keangkuhan. Karena kita menganggap rendah kekuatan “kerendahan hati”. Padahal, banyak orang berhasil yang justru membangun kesuksesannya dengan kerendahan hati.
Nah, untuk membuat kita yakin akan kekuatan “kerendahan hati”, mungkin kutipan nasihat ini berguna buat kita jadikan pegangan. Silakan disimak, semoga bermanfaat....
“Kalau engkau tak sanggup menjadi beringin yang tumbuh di puncak bukti, jadilah saja belukar. Tapi belukar yang terbaik yang tumbuh di tepi danau. Kalau engkau tidak juga sanggup menjadi belukar, maka jadilah saja rumput. Tapi rumput yang terbaik yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, maka jadilah saja jalan kecil menuju ke mata air.”
Dalam sebuah kapal, tentunya tak semua orang menjadi nakhoda. Sudah pasti ada yang harus menjadi awak kapal. Jadi, pada akhirnya, bukan besar kecilnya tugaslah yang menjadikan tinggi-rendahnya diri kita, melainkan eksistensi kita, keberadaan kita. Oleh karena itu, pada akhirnya kita harus menerima hakikat yang pasti, bahwa tugas hidup kita adalah untuk menjadi diri kita sendiri. Diri kita yang sebaik-baiknya diri kita. Dan sebaik-baiknya diri manusia, adalah yang berguna bagi kehidupan – walaupun cuma sebagai pengangkut sampah, misalnya. Sebab, nyatanya, bila tidak ada orang yang mau menjadi pengangkut sampah, maka semua manusia akan menjadi pengangkut sampah. Ya, pengangkut sampahnya sendiri-sendiri. Bukannya begitu?
Kalau begitu, mari kita tambahi upah untuk pengangkut sampah kita, dan ucapkan terima kasih kepadanya....

No comments:

Post a Comment