Pada zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang, es jelas merupakan barang konsumsi mewah. Karena hanya segelintir orang berpunya saja yang bisa menikmati segarnya minuman dengan cemplungan es batu. Namun kemudian, setelah pabrik-pabrik es mulai banyak didirikan, maka kasta es pun mulai melorot. Penjual minuman es, bahkan es krim, mulai bermunculan di sana-sini dan menawarkan kesegaran kepada siapa pun yang punya uang buat membelinya. Selanjutnya, ketika produk lemari pendingin di temukan dan lantas diproduksi massal, ditambah lagi dengan meluasnya penggunaan listrik, maka es pun semakin jatuh pamornya. Akan tetapi, tetap saja es merupakan barang favorit bagi mereka yang hidup di negeri-negeri tropis. Namun, bagaimana sejarah kehadiran es di bumi Indonesia sebenarnya? Nah, kalau ingin tahu, tulisan yang dilansir oleh Historia.id ini mungkin bisa menjadi pelepas dahaga Anda akan informasi mengenai es itu. Silakan disimak.
Sekira akhir abad ke-19, Chailley Bert, seorang pelancong asal Prancis, mencatat bahwa terdapat es dari ujung ke ujung Pulau Jawa hingga gunung-gunung dan desa. Bert jelas berlebihan. Namun penggunaan es sebagai teman minuman sudah menjadi umum di Hindia kala itu. Sekira 1895, musafir Prancis Delmas, yang mampir di Batavia, mencicipi “segelas besar sidre-syampanye, minuman lezat, yang dibuat dengan buah-buahan negeri itu, es dan soda.”
Sekira akhir abad ke-19, Chailley Bert, seorang pelancong asal Prancis, mencatat bahwa terdapat es dari ujung ke ujung Pulau Jawa hingga gunung-gunung dan desa. Bert jelas berlebihan. Namun penggunaan es sebagai teman minuman sudah menjadi umum di Hindia kala itu. Sekira 1895, musafir Prancis Delmas, yang mampir di Batavia, mencicipi “segelas besar sidre-syampanye, minuman lezat, yang dibuat dengan buah-buahan negeri itu, es dan soda.”
Menurut Denys Lombard, es merupakan
lambang “kenyamanan” yang sudah semestinya di negeri tropis dan pengawet
bagi makanan yang mudah rusak. Pada pertengahan abad ke-19, kapal-kapal
yang datang dari Amerika Utara membawa berbalok-balok es ke berbagai
pelabuhan besar di Nusantara. Sekira 1869, keluarga-keluarga kaya di
Batavia “hanya minum air yang berasal dari es yang mencair, yang
didatangkan dari Boston.”
“Prosedur pembuatan amoniak, temuan
Eropa, diimpor ke Jawa sekitar akhir tahun 1880 dan suksesnya yang cepat
segera memutarbalikkan kondisi penyimpanan bahan cadangan,” tulis
Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2.
Prinsip dasar produksi es balok adalah pembekuan air dengan memakai media larutan garam (brine) yang memiliki suhu mendekati titik beku larutannya. Proses pendinginan brine menggunakan bantuan sirkulasi bahan pendingin (refrigerant) ammonia.
Dalam sepuluh tahun sejak dikenal
prosedur pembuatan amoniak, pabrik es berdiri berlipat ganda di
kota-kota besar. Kebiasaan minum air dingan menyebar lebih luas lagi. Di
Batavia misalnya, pabrik es berada di Molenvliet (kini Jl Gajah Mada
dan Jl Hayam Wuruk) dan Petojo.
“Awalnya perusahaan es milik bangsa
Eropa,” tulis Lombard, “namun dengan sangat cepat bangsa Cina pandai
memanfaatkan prosedur baru itu.”
Salah satu pelopor dalam usaha es balok
adalah Kwa Wan Hong, seorang pengusaha Tionghoa. Dia lahir pada 1861 di
Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya, yang lahir di Tiongkok, pernah menjadi
sekretaris walikota. Dia mendapat pendidikan yang cukup baik. Mula-mula
menekuni usaha kayu, lalu beralih ke kapur. Pada 1895 dia mendirikan
pabrik es pertamanya yang memperoleh sukses besar di kota kelahirannya.
Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia,
Hong mencoba membuka pabrik limun dan percetakan Hap Seng Kong Sie
–tertua di Jawa Tengah– pada Agustus 1901. Pada 1902, dia juga
menerbitkan Warna Warta, suratkabar melayu-Tionghoa pertama di Semarang dan berbagai buku cerita terjemahan dari bahasa Tionghoa, misalnya Syair Sindiran karya Tan Tjin Hwa. “Ia terkenal sebagai raja es,” tulis Setyautama.
Hong mengembangkan usahanya dengan
membangun tiga pabrik es di Semarang (1910), Tegal (1911), dan
Pekalongan (1911). Karena menarik minat pembeli, dia membangun dua
pabrik lagi di Surabaya pada 1924 dan 1926. Dua tahun kemudian, dia
menetap di Batavia dan membangun pabrik es di Jalan Prinsenland (Mangga
Besar) dan Rawa Bening di Meester Cornelis, Jatinegara. Pada 1930, dia
mengakuisis pabrik es Soen Sing Hien di Sumedang Jawa Barat, dan
mendirikan satu pabrik minyak kelapa di Kutoarjo.
Dari hasil usahanya, Hong kerap
menyumbang dana untuk kegiatan Tiong Hoa Hwee Koan, organisasi yang
dibentuk pada 1900 “untuk menjadi pusat bagi keseluruhan pergerakan
(Tionghoa) untuk reformasi adat istiadat dan tradisi Tionghoa.”
Awal 1970-an, tulis Lombard, kendati
penggunaan lemari es listrik maju dengan cepat, kebiasaan membeli es
setiap hari “pada orang Cina” –dan masyarakat luas umumnya– masih
terlihat.
No comments:
Post a Comment