Jane Foster merupakan mata dan telinga Amerika di Indonesia setelah Proklamasi. Dialah yang menjadi jembatan komunikasi antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Perempuan muda yang menawan ini diketahui hadir dalam sebuah pertemuan yang terjadi di rumah Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo pada 28
September 1945. Mereka yang hadir dalam pertemuan tersebuat ialah: Jane Foster dari Kantor Dinas Strategis (OSS)
-pendahulu CIA- dan Letnan Kolonel K.K. Kennedy dari pasukan Sekutu,
pengawas militer AS, mewawancarai sejumlah tokoh terkemuka Republik
untuk mengetahui pandangan mereka. Selain Subardjo, hadir Sukarno,
Mohammad Hatta, Amir Sjarifuddin, Iwa Kusumasumantri, dan Kasman
Singodimedjo. Ada satu tokoh lagi yang hadir, dengan nama samaran
Kasman, yakni Tan Malaka.
Laporan dalam simpanan arsip OSS, sebagaimana dikutip Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946,
menyebutkan bahwa di awal rapat, Kennedy menjelaskan bahwa misi AS
merupakan misi intelijen sepenuhnya, dan kedatangan mereka tak bisa
diartikan sebagai pernyataan persetujuan terhadap gerakan nasional
Indonesia. Sukarno membalas, semua yang hadir memahaminya. Sukarno
kemudian meminta maaf karena tak bisa bicara banyak dan menunjuk
Soebardjo sebagai juru bicara. Namun pembicaraan kemudian lebih banyak
dilakukan Kasman, dengan diselingi keterangan Sukarno, Hatta, dan
Soebardjo. Pertemuan antara lain membahas soal penyitaan
perusahaan-perusahaan besar, modal asing, dan peranan Sekutu dalam
proses transisi.
Sesudah pertemuan, Jane Foster segera
kembali ke markas. Dia melaporkan bahwa gerakan nasionalis Indonesia
“bukanlah bagian dari rencana besar Rusia ataupun Jepang untuk
menggulingkan imperialisme Barat, melainkan ledakan alami atas tumpukan
kekesalan yang sudah menggelora selama berpuluh-puluh tahun.” Foster
juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia “tidak merencanakan revolusi.
Mereka mau membicarakan perdamaian.”
Selain itu, dikutip Frances Gouda dan Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?, “pemerintah
Republik sangat menginginkan agar modal Amerika ditanamkan di
Indonesia” dan “melanjutkan ekspor bahan mentah seperti sebelum Perang
Dunia II”.
Informasi Foster sangatlah berharga bagi
AS. Begitu Jepang menyerah, pemerintah AS nyaris tak punya informasi dan
pemahaman yang memadai mengenai Indonesia. Agen-agen OSS menjadi
satu-satunya sumber informasi intelijen Washington. Terlebih, Konsul
Jenderal Amerika Serikat di Jakarta masih berada di Australia dan belum
kembali ke posnya di Jakarta hingga pertengahan Oktober.
Foster dan agen OSS lainnya tiba di
Jakarta pada 15 September. Meski awalnya Washington tak ingin terlibat
langsung di Asia Tenggara, Washinton memutuskan mengambil langkah ini.
Lord Louis Mountbatten, panglima tertinggi Sekutu di Asia Tenggara,
mengizinkan OSS beroperasi di wilayah South East Asia Command (SEAC)
sampai perwakilan diplomatik Amerika Serikat bisa bekerja. Tim OSS akan
menjalankan fungsi Rehabilitasi Tahanan Perang Sekutu dan Interniran
(RAPWI), memperoleh informasi tentang kejahatan perang, dan melindungi
properti Amerika. Namun Washington juga menggunakan OSS untuk
mengumpulkan data-data intelijen soal politik, militer, dan ekonomi.
Agen-agen OSS datang sebagai bagian dari
misi Misi Militer Sekutu yang berada di bawah komando Laksamana Muda
W.R. Patterson. Di dalam kapal Patterson, HMS Cumberland, ikut juga para
pejabat RAPWI dan personel Netherlands Indies Civil Administration
(NICA).
Menurut Andrew Roadnight, United States Policy Towards Indonesia in the Truman and Eisenhower Years,
tim OSS dipimpin oleh Jane Foster tapi kemudian digabungkan dengan
Letnan Kolonel KK Kennedy, pengawas militer AS, pada 25 September.
Sumber lain, Robert J. Leupold dalam tesisnya “The United States and
Indonesian Independence 1944-1947”, menyebutkan OSS, yang dia sebut
sebagai “tim komunikasi dan intelijen”, berada di bawah pimpinan Kapten
Richard B. Shaw.
Foster memainkan peranan penting sebagai
penghubung OSS. Begitu tiba, Jane Foster, kala itu berusia 33 tahun,
mencari kontak dengan Sukarno –yang menurut pandangannya seorang gentlement yang
memikat gaya bicaranya, tampan, dan berwibawa, dan fasih bahasa
Inggris– untuk menjajaki pandangannya dan kabinetnya. Dia juga melakukan
perjanjian lisan dengan para pemimpin yang masih di bawah tanah. Dalam
otobiografinya, An Unamerican Lady, Jane Foster menyebut
tugasnya sebagai staf OSS mengikuti perkembangan politik di Indonesia
serta melakukan hubungan teratur dengan Sukarno dan kabinetnya.
Indonesia bukanlah tempat yang asing bagi
Foster. Pada Oktober 1936, dia menikah dengan diplomat Belanda,
Leendert “Leo” Kamper, dan tinggal di Jawa. Pernikahan mereka bertahan
selama 18 bulan. Selama proses perceraian, dia pergi ke Bali dan tetap
di sana hingga kembali ke Amerika pada September 1939. Tak heran jika
dia bisa berbahasa Melayu.
Latar belakang Foster terbilang unik. Dia
lahir pada 1912 dan tumbuh di San Francisco, California, dari keluarga
kaya. Ayahnya, Harry Emerson Foster, adalah direktur medis Cutter
Laboratories di Berkeley. Dia lulusan Mills College di Oakland,
California.
Foster mulai bekerja di OSS pada 1943,
ditempatkan di Salzburg, Austria. Tak lama kemudian dia menempati pos di
Kandy, sebuah kota pedalaman di selatan Sri Lanka. Dari sinilah
operasi-operasi rahasia OSS dilancarkan ke sejumlah wilayah: Sumatra,
Hindia Belanda, Siam, Burma, Malaysia, Indochina-Prancis (kemudian
Vietnam).
Foster tergabung dalam Operasi Moral (MO), yang menurut William B. Breuer dalam Daring Mission of World Ward II,
beranggotakan tenaga profesional di bidang komunikasi massa, dari
wartawan hingga penulis naskah film Hollywood. Mereka membuat dan
mempublikasikan propaganda “hitam” –atau rahasia– serta merancang siasat
halus untuk melemahkan moral musuh dan mendorong penduduk lokal untuk
melawan dan menggagalkan pendudukan militer Jepang di negara mereka.
Meski berusia 60-an tahun, Jenderal
William J. Donovan, penggagas sekaligus komandan OSS, secara teratur
mengunjungi pos-posnya di seluruh dunia. Pada awal 1945, dia muncul di
markas MO di Sri Lanka. Dia terkejut ketika melihat Foster dan dua
perempuan pribumi memasukkan pamflet anti-Jepang dan obat malaria ke
dalam ratusan kondom. Ketika Foster melihat atasannya melongo, Foster
berkata: “Ini adalah pesan-pesan yang diselundupkan ke Indonesia,
mendesak mereka untuk memulai pemberontakan melawan Jepang. Agen-agen
kita menyebarkannya ratusan dari pesawat di sepanjang garis pantai.”
Foster juga memimpin agen-agen lokal dan
membantu menyusun berita palsu seolah siaran radio Jepang untuk
mendorong perlawanan. Ketika tiga orang Indonesia yang jadi mata-mata
OSS ditangkap Jepang di Kepulauan Batu, tenggara Sumatra, dia menggelar
operasi penyelamatan. Direktur OSS mulanya enggan meluncurkan misi
penyelamatan karena akhir perang sudah jelas, tapi OSS setelah perang
(kemudian digantikan CIA) akan kesulitan merekrut mata-mata jika tak
menyelamatkan kawan-kawan mereka. Foster merencanakan operasi
penyelamatan menggunakan kapal transportasi Inggris. Saat itu dia
dilarang ikut karena dia seorang perempuan. Gregory Bateson, seorang
antropolog yang bekerja di OSS, dengan sukarela mengambil-alih dan
memimpin misi penyelamatan itu.
Pada akhir Agustus 1945, ketika pekerjaan
OSS mereda, Kolonel John Coughlin, komandan detasemen OSS di Sri Lanka,
mengundang Jane Foster ke bungalownya. Setelah menuangkan minuman,
Coughlin bertanya apakah Jane mau menjadi sukarelawan untuk melaporkan
transisi pascaperang di Jawa. Dan tibalah Foster di Indonesia.
Penilaian Foster, juga umumnya agen OSS
di Indonesia, bernada simpatik. Sayangnya, AS terfokus pada pembangunan
kembali Eropa sehingga mengorbankan banyak sekutunya di Asia yang
berharap mendapatkan kemerdekaan sebagai hadiah karena membantu
mengalahkan Jepang. Sebaliknya, kekuatan kolonial yang lama dan dibenci
mulai membangun kembali cengkeraman mereka tanpa rintangan dari Amerika.
Ini membuat Foster marah, yang
menyaksikan kekejaman dan ketidakadilan pasukan Belanda dan Prancis
terhadap warga sipil di Indonesia dan Vietnam dan percaya AS telah
merusak kepentingan mereka sendiri. Dia menulis di sebuah kertas putih
lecek yang mengutuk kebijakan Amerika di Indonesia (dia membantahnya).
“Dia sangat marah. Tugasnya adalah
merekrut dan melatih agen lokal. Dia mengikuti garis Roosevelt yang
menjanjikan untuk mendukung perkembangan demokrasi jika mereka membantu
kita melawan Jepang. Dia sangat kecewa dan dia merasa dia telah
mengkhianati orang-orang ini. Dia telah membuat janji-janji berdasarkan
apa yang pemerintahan Roosevelt katakan, tapi pemerintahan Truman
meninggalkan wilayah ini dan mengembalikannya pada sekutu Eropa kita,”
ujar Jennet Conant, penulis buku A Covert Affair: Julia Child and Paul Child in the OSS dalam wawancara dengan Robin Lindley, kontributor History News Network.
OSS sendiri dibubarkan Presiden Harry S.
Truman tak lama setelah pemecatan Donovan pada 20 September 1945. Foster
meninggalkan OSS pada 1946, kembali ke Amerika, lalu menghabiskan sisa
hidupnya di Paris. Pada pertengahan 1950-an, apa yang dia kerjakan di
Indonesia, menggiringnya pada penyelidikan Pengadilan Federal AS.
No comments:
Post a Comment