SEPERTI
para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan bangsanya,
demi masa depan anak-cucunya, kerabatnya, temannya, dan semua saudara
setanah-airnya. Ia tak pernah meminta untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
sebagai wasiatnya. Ia hanya mewasiatkan agar meneruskan perjuangannya, apabila
ia gugur dalam perjuangan meraih kemerdekaan itu. Ia tidak ingin dikenang dan
dipuja-puji sebagai orang yang telah berjasa. Ia hanya ingin apa yang
diperjuangkannya tak disia-siakan. Karena ia pahlawan, bukan orang yang
memperjuangkan sesuatu untuk dirinya – bahkan meski hanya untuk dipuji.
Apa
yang pernah dilakukan oleh Nenek untuk Putri, cucunya, adalah gambaran lain
dari seorang pahlawan itu. Mudah-mudahan, kisah Putri dan neneknya ini menjadi
ibrah, pelajaran bagi kita semua, bahwa pahlawan bukanlah orang yang
berteriak-teriak penuh semangat di atas panggung – tapi berharap akan menjadi pejabat
nantinya.
Putri
adalah gadis remaja yang masih duduk di bangku kelas 2 SLTA. Dia cantik,
cerdas, dan penuh oleh daya hidup. Namun tak seperti teman-teman sebayanya,
yang menjalani masa remajanya dengan leluasa dan penuh keriuhan, ia terkungkung
di rumah karena harus mengurus neneknya yang lumpuh, yang hanya bisa berbaring
di tempat tidur.
Sebagai
remaja, yang menyimpan begitu banyak energi di dalam tubuhnya, tentu saja dia
merasa terkekang. Ia ingin seperti teman-temannya, bisa jalan-jalan bersama di
mal, bisa menikmati masa remajanya seperti yang lain. Ia jenuh dengan hidupnya
yang hanya antara sekolah dan kamar neneknya. Ia merasa didzalimi. Merasa
dirampas kebebasan hidupnya. Maka ia menyampaikan protesnya kepada orangtuanya.
“Ma,
gantian dong ngerawat neneknya. Masak setiap hari harus aku,” ujarnya, pada
ibunya. “Aku 'kan juga pingin kayak temen-temen, bisa mengaktualisasi diri
dengan bergaul dan melihat dunia di luar sana.”
Ibu,
yang perempuan soleh itu, menghibur anak gadis itu. “Bersabarlah, Putri. Segala
sesuatu itu 'kan ada hikmahnya. Lagi pula, merawat Nenek itu lebih bermanfaat
buat kamu daripada kamu keluyuran di mal. Percaya, deh.”
Kali
ini, Putri bisa dibujuk oleh Ibu. Namun teman-temannya juga terus membujuk agar
ia ikut dengan cara hidup mereka. Dan akhirnya, Putri protes lagi.
“Ma,
Nenek itu 'kan ibunya Mama, kenapa harus Putri yang ngerawat dia? Harusnya 'kan
Mama atau Papa. Itu baru namanya anak yang berbakti sama orangtua. Lagian juga,
kenapa cuma aku yang disuruh ngurus Nenek? Kakak ama adik-adik kok nggak? Nggak
adil itu namanya, Ma! Pokoknya, aku nggak mau ngerawat Nenek lagi, titik!”
Ibu
memandang Putri dengan hati sedih. Airmata merebak dan lantas bergulir turun ke
pipinya. Diraihnya kedua tangan Putri, digenggamnya dengan lembut. “Putri,
Anakku. Kamu sekarang sudah besar. Jadi, Mama rasa sudah waktunya kamu tau,
mengapa harus kamu yang selalu merawat Nenek.”
Putri
jadi berdebar. Hatinya mendadak galau, dan pikirannya penuh oleh praduga dan
prasangka. Ada apa ini?
“Ketahuilah,
Nak. Kalau Nenek tidak lumpuh seperti sekarang ini, kamu pasti nggak ada di
sini sekarang....” ungkap Ibu.
“Maksud
Mama?” Putri tak paham.
Maka
Ibu pun bercerita, “Dulu... waktu umur kamu baru 6 bulan. Keluarga kita
mengalami musibah. Suatu malam, rumah kita kebakaran. Karena terjadinya tengah
malam, dan kita semua sudah tertidur, maka kita semua lantas panik. Kita semua
berusaha menyelamatkan apa-apa yang paling mungkin buat diselamatkan.”
“Waktu
itu, Papa, Mama, dan Nenek hanya berpikir satu hal, selamatkan anak-anak! Maka,
Papa dan Nenek menggendong kakak-kakak kamu, dan Mama menggendong kamu. Kami
begitu panik saat itu, karena api sudah begitu besar.”
“Waktu
kami berkumpul di jalan, agak jauh dari rumah, Papa tiba-tiba bertanya ke Mama:
‘Lho, Ma, Putri mana?’. Dengan yakin Mama menunjukkan kamu yang lagi Mama
gendong. Tapi kami semua mendadak kaget, karena ternyata yang Mama gendong itu
bukan kamu, melainkan guling kamu! Mama langsung syok dan jatuh pingsan.”
“Kamu
masih di dalam rumah yang terbakar itu, Putri, di lantai atas. Dan kamu tau, apa
yang terjadi kemudian? Sementara papamu lagi panik dan bingung mengurus Mama
yang pingsan, Nenek nekad masuk kembali ke dalam rumah kita yang lagi terbakar
hebat. Nenek menyingkirkan semua orang dan petugas pemadam yang berusaha
menghalanginya.”
“Kami
semua mengira Nenek dan kamu tak akan tertolong. Karena api betul-betul sudah
mengepung rumah kita. Tapi tiba-tiba, kami melihat Nenek muncul di lantai atas.
Tanpa aba-aba, Nenek langsung meloncat ke bawah. Petugas pemadam kebakaran
berusaha menangkapnya, tapi tak berhasil. Maka Nenek jatuh dengan keras ke
tanah. Dipelukannya, kamu sedang menangis.”
“Kamu
selamat, Putri. Nenek berhasil menyelamatkan kamu, tapi Nenek harus menerima
kenyataan akibat cedera yang dialaminya. Sejak itulah Nenek lumpuh....”
Ibu
dan anak gadisnya berpelukan dan menangis.
“Kenapa
Nenek nggak pernah cerita ke Putri kalau Nenek...,” sedu Putri, menyesal.
“Karena
Nenek menyayangi kamu, Nak. Tidak penting apa yang harus Nenek alami demi orang
yang disayanginya ini. Nenek memang lumpuh. Tapi Nenek bahagia melihat kamu
masih hidup dan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan pintar....”
Sejak
itu, bagi Putri, tiada yang lebih menyenangkan baginya selain mendampingi dan
merawat Nenek.
Dan
kita, sebenarnya adalah Putri dalam ujud yang lain. Kalau saja kita mengetahui,
mengapa kita harus mencintai mereka yang menyayangi kita. Seandainya saja
dibukakan hijab atas kita, mengapa kita harus mengasihi sesama dan juga seluruh
alam semesta ini, niscaya kita akan memelihara semuanya dengan penuh kasih
sayang dan keikhlasan....
No comments:
Post a Comment