DENGAN apa kita mengukur miskin kayanya seseorang? Dengan banyak sedikitnya
harta yang dimilikinya? Secara material, ukuran itu benar. Orang yang
memiliki harta banyak, dia adalah orang kaya. Sebaliknya, orang yang
hartanya sangat sedikit, dia orang miskin. Namun bagi orang yang
memandang miskin kaya itu dari ukuran 'rasa cukup', maka orang yang kaya
ialah mereka yang telah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, dan
membagi kelebihannya kepada orang lain yang membutuhkan, yang masih
kekurangan. Sedangkan orang miskin ialah orang yang selalu merasa masih
kekurangan, sehingga merasa belum bisa berbagi dengan orang yang lebih
kekurangan dibanding dirinya.
Dalam konteks 'rasa
cukup', belum tentu orang yang sudah memiliki aset bernilai triliunan
itu adalah orang kaya, kalau dia merasa belum cukup dengan apa yang
telah dimilikinya itu, sehingga ia merasa belum waktunya untuk berbagi
dengan orang yang membutuhkan bantuan. Sebaliknya, orang yang
penghasilannya hanya seukuran UMR, namun merasa sudah cukup, ia tak akan
merasa keberatan untuk membaginya dengan orang yang membutuhkan
bantuan, apabila ia merasa masih mempunyai kelebihan pada penghasilannya
itu.
Berikut ini adalah kisah seseorang yang pernah
bekerja pada sebuah perusahaan Yahudi. Sebetulnya, secara materi, ia
sudah tergolong sebagai manusia yang kaya di usianya yang belum lagi 40
tahun. Dan ia sudah menyambangi lebih dari 200 negara, demi mencari
kekayaan dunia untuk dirinya, serta untuk perusahaannya yang dimiliki
oleh orang Yahudi itu.
Ia mengatakan, betapa satu sen
pun harus dikejar dalam bisnisnya. Dan yang namanya kerugian, meski
hanya satu dolar, akan membuat pemilik usaha menjadi panik. Apalagi di
zaman krisis global seperti sekaran ini. Selalu memburu harta. Mengejar
kekayaan dunia. Takut miskin. Itulah yang tertanam dalam benaknya!
Namun
pada suatu hari, ketika ia bertugas di Maroko, Afrika Utara. Ia
mendapat hidayah. Ketika itu, ia singgah di sebuah perkampungan muslim
yang bersahaja. Di dusun itu, karena ia seorang muslim, maka
kehadirannya di disambut dengan baik oleh warga muslim di sana.
Ia
dijamu makan. Hidangan yang akan disantap sudah tersaji dihadapan.
Namun tidak seorang pun mulai menyantap makanan, dan ia pun belum
dipersilakan untuk makan. Lalu seseorang datang ke ruang makan itu dan
menyampaikan berita kepada tuan rumah, dalam bahasa Arab. Setelah itu,
Andi pun dipersilakan untuk makan.
Sembari menyantap
hidangan itu, ia diberitahu oleh tuan rumah bahwa warga kampung muslim
di situ tidak akan pernah menyantap makanan, selagi mereka belum merasa
yakin bahwa di luar sana tak ada seorang pun yang kelaparan. Rupanya,
warga di dusun itu selalu saling berbagi makanan antara satu rumah
dengan yang lain. Dan orang yang datang sebelum santap makanan tadi,
adalah pembawa kabar bagi tuan rumah yang menyampaikan bahwa ia sudah
membagi makanan bagi penduduk kampung yang belum mendapat makanan.
Pada
malam itu, ia mendapat pelajaran berharga, bahwa berbagi kepada sesama
akan membawa ketentraman dan kebahagiaan. Penduduk desa itu mayoritas
adalah penduduk miskin, namun mereka bahagia dengan cara berbagi kepada
sesama. Itulah pelajaran yang jauh berbeda dari apa yang selama ini ia
dapat di perusahaan tempatnya bekerja.
Selesai bertugas
di Maroko, ia kemudian ditugaskan untuk ke Cairo, Mesir. Dalam
perjalanan bisnis pada suatu malam, ia menyewa sebuah taksi di sana.
Taksi di kota Seribu Menara itu dimiliki oleh perorangan, dan kebanyakan
armadanya sudah jelek dan bobrok.
Malam itu, ia membuka
pembicaraan dengan sopir taksi Mesir demi memecah kebekuan. “Berapa
uang yang kau hasilkan dalam sehari dengan membawa taksi seperti ini?”
tanyanya, kepada sopir taksi. Dibenak ia membayangkan betapa kecilnya
penghasilan yang akan disebutkan oleh sopir taksi ini, dibandingkan
penghasilan yang ia dapatkan di perusahaan Yahudi terkenal.
“Aku tak membawa taksi ini seharian!” jawab sopir itu, dengan bahasa Inggris sekenanya.
“Apa kamu punya pekerjaan lain?” tanyanya lagi.
“Alhamdulillah,
aku punya dua pekerjaan yang diberi Allah untukku. Dari pagi hari
sampai sore aku bekerja di restoran, malam harinya aku menjadi sopir
taksi!” sahut sang sopir.
“Apa hidup di Mesir sudah
sedemikian sulit, sehingga engkau harus bekerja dobel dan mencari nafkah
sampai malam?” Ia jadi makin ingin tahu.
“Tidak, hidup
di negeri ini amat nikmat sekali! Dari pagi hingga sore aku mencari
nafkah untuk diriku dan keluarga, dan itu cukup untuk kami,” jelas sang
sopir.
“Lalu mengapa engkau menjadi sopir taksi?” Ia merasa heran.
“Saudaraku,
hidup ini hanya sekali. Dan aku ingin hidup yang cuma sekali ini
berarti untuk bekalku setelah mati. Maka sudah beberapa lama ini aku
membawa taksi agar aku bisa mencari tambahan penghasilan, dan kemudian
aku sedekahkan kepada mereka yang membutuhkan,” jelas sang sopir, apa
adanya.
Akh! Perkataan itu terasa seperti petir
menyambar di hatinya. Betapa hebat niat sopir taksi ini, gumamnya dalam
batin. Dan ia sadar, tak pernah dengan kekayaan yang dimilikinya, ia
bercita-cita mulia seperti itu. Ia seketika merasa tak berani buat
meneruskan pembicaraan dengan sopir taksi itu. Pada saat itu ia merasa,
bahwa seluruh harta yang ia cari rupanya belum apa-apa, dibandingkan
kekayaan hati yang dimiliki oleh penduduk muslim miskin di Maroko, dan
sopir taksi yang ia temui di Cairo, Mesir ini.
Dan pada
saat itulah ia menyadari, ternyata orang-orang itu lebih kaya dari
dirinya. Karena mereka merasa sudah cukup dengan apa yang telah mereka
miliki, meski sedikit, dan dengan senang hati membagi kelebihannya
kepada orang lain yang membutuhkannya.
Rasulullah SAW
bersabda, “Siapa di antara kalian di waktu pagi ia merasa aman rumah
tangganya, sehat badannya, dan mempunyai persediaan makanan untuk hari
itu, maka seolah-olah ia telah mendapatkan kebahagiaan dunia dengan
semua kesempurnaannya.” HR. Tirmidzi
No comments:
Post a Comment