Thursday, August 21, 2014

Dapur Umum: Dapur Ngebul, Senapan Ngepul

Kalau kita mengingat peristiwa bersejarah pada 10 November, pasti yang langsung loncat dalam benak kita ialah "Pertempuran 10 November" di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo di bawah bakaran semangat Bung Tomo dengan gigih berjuang bahu-membahu untuk mengusir tentara sekutu dari Surabaya. Itu memang suatu peristiwa heroik yang sangat pantas buat dikenang hingga ke anak cucu. Namun ada hal-hal penting yang seringkali kita lupa untuk memerhatikannya. Dan dalam peristiwa "Pertempuran 10 November" itu, kita melupakan peran perempuan di sana. Peran ibu-ibu yang bertanggungjawab atas "pelor semangat" alias nasi dan teman-temannya. Ya, peran para pejuang perempuan di dapur umum yang harus menjamin ketersediaan suplai makanan buat para pejuang. Tanpa mereka, pasti para pejuang berperang sambil menahan lapar.

Dari Historia.co.id saya menemukan kisah tentang perjuangan para ibu di dapur umum itu. Karena ternyata, tanpa kehadiran perempuan-perempuan tangguh di dapur umum, bisa jadi usia perjuangan tak akan bertahan lama.
Bung Tomo menaruh perhatian besar terhadap urusan logistik selama Pertempuran 10 November. Dalam pidatonya, dia menyerukan agar suplai logistik untuk para pejuang jangan sampai terputus. Namun, badan yang mengurusi logistik para pejuang belumlah terbentuk. Dapur umum yang muncul spontan dan bantuan rakyat jadi andalan para pejuang.

Di Surabaya, Dariyah atau lebih dikenal sebagai Ibu Dar “mortir” –dinamakan demikian karena kebiasaannya melemparkan sirih di mulutnya begitu ada orang yang meledeknya, biasanya pemuda pejuang– merupakan salah satu inisiatornya. Dia mendatangi Doel Arnowo, ketua Komite Nasional Indonesia Daerah, untuk meminta beras di gudang Kalimas lalu mendirikan dapur umum Gemplak Gentengkali dengan bantuan polisi istimewa. “Dia yang membuat dapur umum pertama di Surabaya,” ujar Truus Iswarni Sardjono, mantan anggota Palang Merah 45.
Pemuda Puteri Republik Indonesia (PPRI) pimpinan Loekitaningsih mula-mula juga mengurusi dapur umum. Mereka mendirikan banyak dapur umum. Ketuanya antara lain Ny. Sobari, Ny. Soebekti, Ny. Soedjono, Ny. Sunsalah, dan Ny. RS Supandhan – ibu dari Loekitaningsih. Dapur induk PPRI terletak di Jalan Pregolan, tak jauh dari markas BKR Kaliasin. Cakupan layanan dapur umum ini hampir meliputi seluruh kota.
Di mana-mana rakyat bersimpati pada perjuangan. Sumbangan logistik pun mengalir. Hampir semua stasiun kereta api, kenang Loekitaningsih, penuh makanan dalam besek atau berkeranjang-keranjang nasi bungkus. Tak ada seorang pun yang bisa menolak. “Kereta api yang menuju Surabaya, makin dekat semakin penuh dengan titipan makanan bagi para pejuang,” tulis Loekitaningsih, dimuat dalam Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Akibatnya, para relawan dapur umum keteteran. Atas anjuran Bung Tomo, sumbangan dalam bentuk natura dialirkan ke dapur-dapur umum untuk diolah di bawah kordinasi M.A. Prangko Prawirokusumo.
Tenaga dapur umum mayoritas ibu-ibu, sekalipun sesekali mendapat bantuan dari para pemudi, pemuda, anak-anak, dan tentara yang sedang tak di garis depan seringkali juga ikut membantu. Secara bergantian mereka memasak dan tak jarang mengantarkan makanan ke garis depan. “Begitu simpatinya ibu-ibu di dapur umum tersebut, setiap mereka dapat menyerahkan ratusan nasi bungkus sesuai dengan pesanan kami, hingga ambulans penuh terus dan berangkatlah kami menuju markas para pemuda pejuang,” tulis Loekitaningsih.
“Pos palang merah dan dapur umum diatur lebih tepat dan disesuaikan dengan strategi pertahanan yang sedang disusun kembali,” tulis Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah.
Peran penting dapur umum tersebut membuat berbagai pihak terus mempertahankan keberadaannya di berbaga tempat. “Pimpinan Pertahanan Kota masih tetap berusaha untuk mempertahankan sistem Dapur Umum, karena manfaatnya sangat besar dalam pemeliharaan moral para pejuang,” tulis Loekitaningsih.
(Historia - MF Mukthi)

No comments:

Post a Comment