Wednesday, March 6, 2013

Rumah Kontainer Kaum Dhuafa Shanghai

Seorang anak berdiri di pintu kontainer kapal yang menjadi rumah tinggalnya.
PEMBANGUNAN Shanghai menjadi salah satu pusat kemewahan dan ekonomi di Cina, ternyata juga membawa dampak penyingkiran orang-orang miskin kota. Akhirnya, sebagian keluarga tak mampu di sana memilih untuk tinggal di kontainer kapal, tanpa listrik dan penghangat. Harga sewanya, hanya sekitar Rp. 772 ribu per bulan. Dan seperti inilah kehidupan mereka....

Sebuah mobil lewat di depan kontainer kapal yang menjadi rumah kaum dhuafa. Sebuah ironi dari kehidupan sebuah kota besar. Rumah kontainer ini memang diadakan oleh para induk semang, dengan menagih Rp. 772 ribu per bulan kepada mereka yang mau menghuninya. 
Orang-orang berdiri di 'kampung kontainer' mereka, di Shanghai. Seperti juga di negeri-negeri lain, yang memarginalkan warganya yang miskin dari gemerlap kotanya, di Shanghai pun kaum papa harus berjuang untuk bertahan hidup dengan sebisa-bisanya.  
Seorang ibu dan anaknya di dalam kontainer kapal yang menjadi rumah mereka. Gambaran perjuangan untuk bisa bertahan hidup, agar generasi yang telah terlanjur hadir bisa diantarkan ke gerbang masa depannya, dan mendapat peluang untuk bertarung memperebutkan kesempatan hidup yang lebih baik. Tak penting akan menang atau kalah. Karena hidup memang mesti diperjuangkan terus.
Seorang anak memegang mainannya di depan kontainer kapal tempat dia tinggal. Baginya saat ini, dunia adalah mainan yang menyenangkan. Namun jejak kemiskinan akan tetap tertinggal dalam jiwanya ketika ia bangkit dewasa, dan akan melecutnya untuk keluar dari belenggu kenestapaan yang diwariskan orangtuanya.
Seorang anak mengerjakan pekerjaan rumah di dalam rumah kontainernya. Dalam kebocahannya, mengerjakan pekerjaan rumah adalah tugas yang wajib diselesaikan. Tak penting itu dikerjakan di dalam rumah gedung yang mewah atau rumah kontainer sewaan yang murah. Tak ada bedanya. Karena pekerjaan rumah adalah pekerjaan rumah, tak ada kaitan di mana mengerjakannya. Hanya saja, alangkah enaknya kalau di bawah penerangan lampu listrik yang benderang.
Seorang ibu dan anaknya makan malam di luar kontainer kapal yang menjadi rumah mereka. Puji syukur kepada Tuhan, karena telah memberi rejeki untuk makan malam. Dan mereka tak kalah bahagianya dengan mereka yang dinner di restoran mewah, dengan hidangan yang berharga ratusan atau bahkan ribuan kali lipat dari yang mereka santap itu. Karena makanan hanya terasa nikmat di mulut. Setelah melewati tenggorokan, ia hanyalah sesuatu yang mengisi perut.
Seorang perempuan memasak di depan kontainer kapal rumahnya. Selagi ada yang bisa dimasak untuk dimakan, dapur terkadang hanya sebuah tempat belaka. Alangkah baiknya kalau punya dapur yang dilengkapi dengan perabot yang bagus dan memadai. Namun masakan akan tetap bisa dimasak meski dengan peralatan seadanya. Karena rasa ditentukan oleh keikhlasan dalam menerima rejeki. Sedikit, kalau ada, akan terasa nikmat daripada tak ada.
Jadi, mari kita syukuri hidup dan rejeki yang dikaruniakan kepada kita. Sedikit atau banyak hanyalah jumlah, namun nilai kebahagiaan dalam menerimanya adalah tergantung pada hati kita yang menerimanya....
Foto-foto diambil pada 4 Maret 2013. 

No comments:

Post a Comment