Monday, December 9, 2013

Kakek Nenek Tinggal di Stasiun Karena Kehabisan Uang

MUSIBAH tabrakan antara KRL dengan truk tangki BBM Pertamina di Bintaro, ternyata tak hanya menyusahkan keluarga korban, namun juga penumpang kereta api yang lain. Kusniah (57) dan Aman (60) salah satunya. Karena tak punya uang untuk ongkos menggunakan angkutan lain untuk pulang, akhirnya mereka memilih tetap tinggal di kereta yang mereka tumpangi, yang berhenti di Stasiun Palmerah. Padahal tak jelas kapan kereta yang mereka tumpangi itu akan kembali beroperasi. 



Siang ini, Senin, 9 Desember 2013, Kusniah berada dalam salah satu gerbong di Kereta Lokal tujuan Angke-Rangkasbitung. Keduanya hendak pulang ke rumahnya di Parungpanjang.

Operasional KRL lintas Tanahabang-Parungpanjang terhenti sejak pukul 11.30. Penyebabnya terjadi kecelakaan antara KRL dengan mobil tangki BBM Pertamina di Perlintasan Telukbetung.

Kendati demikian Kusniah dan Aman memilih menunggu. Kusniah duduk meluruskan kakinya di kursi kereta. Dia mengenakan baju muslim, jilbab, dan celana panjang warna hijau.

Sedangkan Aman duduk di depannya dengan kancing kemeja terbuka. Di luar, hujan turun tak terlalu besar. Hawa pengap di dalam kereta pun sedikit tersapu.

Kusniah tak punya pilihan selain menunggu. Uang di kantungnya hanya tersisa Rp 20.000. Tak akan cukup apabila mereka mau berganti moda ke angkutan umum mobil menuju Parungpanjang. Ongkos mobil ke sana bisa mencapai Rp 40.000. Belum lagi harus tiga kali berganti mobil.

"Lagipula kaki saya sudah tak kuat. Saya sedang sakit," ujar Kusniah.

Hari ini Kusniah memang baru keluar dari rumah sakit Dharmais. Dia dirawat selama 14 hari di sana. Dibiayai oleh Kartu Jakarta Sehat. Kusniah menderita kanker payudara.

14 hari lalu Kusniah menjalani kemoterapi di RS Dharmais. Tapi seusai itu kondisinya justru drop. Makanya dia perlu dirawat.

"Makanya sekarang pun masih lemas ini," kata Kusniah.

Kusniah mengaku sudah punya lima cucu. Dia tak punya uang banyak karena dia tak bekerja. Suaminya sehari-hari bekerja sebagai pemulung.
Theo Yonathan Laturiuw

No comments:

Post a Comment