Anda sudah membaca artikel sebelumnya yang berjudul, "Jangan Berbuka dengan Kolak!"? Kalau sudah, mudah-mudahan Anda mengikuti anjuran tersebut. Namun sekarang, ternyata ada anjuran yang lebih "gawat" lagi, yaitu, "Jangan Berbuka dengan Yang Manis!" Wah, kenapa? Kok ini bertentangan banget sama kebiasaan kita pada umumnya. Betul. Ini memang bertentangan dengan kebiasaan kita pada umumnya. Karena kebiasaan itu, ternyata salah. Karena kebiasaan itu ternyata justru berbahaya buat kesehatan kita. Padahal... kita disuruh puasa itu supaya sehat, kan?
Nah, supaya lekas jelas duduk soalnya, mari kita lanjutkan pembedahan masalah berbuka tanpa yang manis-manis ini. Kita semua sudah mafhumlah, bahwa di setiap bulan puasa kita sering mendengar kalimat, "Berbuka puasalah dengan makanan atau minuman yang manis," yang katanya, konon, itu dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Apa bener, tuh? Bisa jadi itu memang benar, tapi... nah, tapinya ini yang harus kita ungkap. Dan berikut ini adalah kebenarannya.
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air.” (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Nabi Muhammad SAW. berkata: “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”
Nah, Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak ada kurma, beliau berbuka puasa dengan air. Samakah kurma dengan ‘yang manis-manis’? Ternyata tidak. Kurma adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate) . Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis, yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).
Darimana sebenarnya asal kebiasaan berbuka dengan yang manis itu? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum (keyakinan umum yang keliru) di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’. Sebenarnya tidaklah demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.
Terus terang, dari dulu saya merasa penasaran mengenai hal ini, yakni bahwa berbuka puasa ‘disunnahkan’ minum atau makan yang manis-manis. Karena sepanjang ingatan saya, Rasulullah itu mencontohkan buka puasa dengan kurma atau air putih, bukannya dengan yang manis-manis seperti yang kita pahami sekarang.
Kurma itu, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis. Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan. Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan, di bulan Ramadhan itu sebetulnya sudah berupa ‘manisan kurma’, bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru telah ditambahi kandungan gula, yang berlipat-lipat kadarnya, agar awet dalam perjalanan ekspornya. Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang masih asli dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin harganya menjadi amat mahal.
Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. “Bum!” Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.
Supaya makin jelas, mari kita bicara mengenai ‘indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan yang diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat pula makanan itu diubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.
Makanya para praktisi fitness, atau penganut gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka artinya tubuh makin rajin menimbun lemak. Nah, bukankah penimbunan lemak tubuh adalah hal yang paling dihindari mereka?
Oleh karena itu, kalau perut yang semula kosong seharian itu lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya), sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak, maka dengan demikian, tubuh pun akan sangat cepat merespon untuk melakukan penimbunan lemak.
Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada seorang sufi yang diberi Allah pengetahuan tentang urusan kesehatan jasad manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah sholat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau. Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia adalah ‘manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.
Lalu kenapa nasi? Ya soalnya nasi itu adalah karbohidrat kompleks. Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.
Coba perhatikan, sebetulnya inilah penyebab mengapa di bulan puasa justru banyak sekali orang yang justru lemaknya bertambah, terutama di daerah-daerah penimbunan lemak, yaitu: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena mereka seringkali langsung membanjiri tubuh dengan insulin pada saat berbuka, melalui makanan dan minuman yang manis-manis, sehingga tubuh pun otomatis melakukan penimbunan lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa.
Itu sebabnya pada bulan Ramadhan badan kita malah makin terlihat seperti ‘buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis-manis adalah ’sunnah’, maka hasil puasa bukannya malah menyehatkan badan kita, tapi justru sebaliknya. Perhatikan, bukankah banyak orang di bulan puasa yang justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula? Nah, itu karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya adalah ‘rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.’
Ingin ‘Kurus’
Bagi Anda-Anda yang ingin kurus: sebetulnya tidak perlu diet (dalam pengertian mengurangi frekuensi makan). Karena faktanya, diet justru menambah kecenderungan tubuh untuk rajin menabung lemak akibat ‘dilaparkan’. Pada waktu diet, pasokan makanan memang tidak masuk. Makanya begitu makanan masuk, tubuh pun segera bereaksi dengan kecenderungan untuk menimbun lemak yang sebanyak-banyaknya dari makanan itu.
Jadi, rahasia kurus yang sebenarnya adalah justru dengan menjaga agar respon insulin di dalam tubuh tetap stabil, tidak melonjak-lonjak. Caranya, ya hanya memakan makanan yang memberi respon insulin rendah, yaitu yang indeks glikemiknya rendah.
Respon insulin tubuh meningkat bila:
1. Makin tinggi jumlah karbohidrat yang dimakan dalam satu porsi, maka semakin tinggi pula respon insulin tubuh (umumnya porsi kita di Indonesia: lebih dari 70% dari satu porsi makannya adalah nasi). Makanya, makanlah hanya dengan karbohidrat sekitar 50% saja. Sisanya protein, dan 5-10 persennya lemak. Dari mana lemak ini? Ya misalnya dari lemak yang terkandung dalam daging yang kita makan. Atau dari kuning telur. Tidak perlu menambah minyak atau memakan lemak hewan (yang justru buruk pengaruhnya bagi tubuh). Lemak ini (dalam jumlah sedikit) masih diperlukan tubuh untuk mengolah beberapa nutrisi dan vitamin, dan juga untuk membawa nutrisi ke seluruh tubuh.
2. Semakin tinggi GI (Glycemic Index) karbohidrat yang dikonsumsi, semakin meningkat pula respon insulin tubuh. Makanya, makan hanya makanan yang GI-nya rendah. Penjelasannya ada di bawah.
3. Semakin jarang kita makan, sebetulnya justru semakin meningkatkan respon insulin setiap kali kita makan.
Ini sebabnya diet (dalam pengertian: mengurangi frekuensi makan supaya jadi kurus) tidak akan pernah berhasil untuk jangka lama. Karena setelah diet selesai, tubuh justru akan cenderung lebih gemuk dari sebelum diet. Supaya kurus (baca: supaya respon insulin tidak melonjak), sebetulnya kita justru harus lebih sering makan (4-5 kali sehari), tapi dengan porsi setengah atau sepertiga porsi biasa, dengan karbohidrat maksimal 50 persen saja setiap porsinya.
Kalau respon insulin tubuh sudah stabil, maka tinggal diatur: kalau ingin kurus, kalori yang masuk harus lebih sedikit dari kalori makanan yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari. Tambah dengan olahraga teratur untuk membakar lemak berlebih dalam tubuh, dan memperbesar otot. Otot membutuhkan energi, maka makin terlatih otot, ia akan makin mengkonsumsi lemak dalam tubuh kita untuk energi.
Sebaliknya kalau ingin memperbesar otot (bukan gemuk) atau mengencangkan badan, maka kalori yang masuk harus agak lebih banyak dari jumlah kalori yang akan kita pakai untuk aktivitas selama sehari, agar otot mengalami pertumbuhan. Otot sendiri dirangsang pertumbuhannya dan ‘kekencangannya’ dengan olahraga teratur. Perbanyak protein agar pertumbuhan otot optimal. Karbohidrat cukup diposisikan sebagai bahan pemberi energi, bukan untuk mengenyangkan perut.
Lucu, ya? Kalau kita ingin kurus atau memperbaiki bentuk badan, termasuk menumbuhkan otot, justru kita harus makan lebih sering, dengan porsi kecil tapi. Makan yang mengandung lemak, goreng-gorengan, kanji, atau karbohidrat sederhana seperti gula, manisan, minuman ringan bersoda dan sebangsanya, itu sudah out of the question. Kalau kita jarang makan, atau makan tidak teratur, dan sekalinya makan langsung ‘balas dendam habis-habisan’ , ya respon insulin kita justru jadi melonjak dan membuat tubuh jadi menimbun lemak.
Sekali lagi, baik ketika berbuka puasa atau dalam makanan keseharian, makanlah makanan yang seimbang: 50 persen karbohidrat kompleks, 40-45 persen protein dan 5-10 persen lemak dalam setiap porsinya. Jauhilah karbohidrat sederhana sebisa mungkin. Kalaupun harus makan karbohidrat sederhana, karena butuh energi cepat, carilah yang nilai indeks glikemiknya rendah.
Karbohidrat kompleks membutuhkan waktu untuk diubah oleh tubuh menjadi energi. Dengan demikian, makanan diproses pelan-pelan dan tenaga pun diperoleh sedikit demi sedikit. Karenanya, kita jadi tidak cepat lapar, dan energi pun tersedia untuk waktu yang lama, sehingga cukup untuk aktivitas sehari penuh. Sebaliknya, karbohidrat sederhana menyediakan energi yang sangat cepat, tapi akan cepat sekali habis, sehingga kita akan mudah lemas. Makanya, sewaktu makan sahur, sebaiknya jangan makan yang banyak mengandung gula, karena kita akan jadi cepat lemas. Makanlah karbohidrat kompleks (protein jangan dilupakan!) sehingga kita tetap berenergi sampai waktu berbuka.
Karbohidrat sederhana, GI tinggi (energi sangat cepat habis, respon insulin tinggi: merangsang penimbunan lemak) adalah: sukrosa (gula-gulaan), makanan manis-manis, manisan, minuman ringan, jagung manis, sirop, atau apapun makanan dan minuman yang mengandung banyak gula. Hindari, puasa atau tidak puasa.
Karbohidrat sederhana, GI rendah (energi cepat, respon insulin rendah): buah-buahan yang tidak terlalu manis seperti pisang, apel, pir, dan sebagainya. Sekarang ngerti kan, kenapa para pemain tenis dunia, pemain bola, pemain basket atau pelari sering terlihat ‘ngemil pisang’ di pinggir lapangan? Karena mereka butuh energi cepat, tapi nggak ingin badannya gembrot berlemak.
Karbohidrat Kompleks, GI tinggi (energi pelan-pelan, tapi respon insulinnya tinggi): Nasi putih, kentang, jagung.
Karbohidrat Kompleks, GI rendah (energi dilepas pelan-pelan sehingga tahan lama, respon insulin juga rendah): Gandum, beras merah, umbi-umbian, sayuran. Ini yang paling dicari para praktisi fitness.
Makanan yang diproses pelan-pelan (karbohidrat kompleks) akan membuat kita tidak cepat lapar dan energi dihabiskan cukup untuk aktivitas satu hari penuh; respon insulin rendah membuat tubuh kita tidak cenderung untuk menabung lemak.
Kalau saya pribadi, sahur cukup dengan oatmeal gandum (ditambah gula sedikiiiiiit) , atau roti coklat gandum, dua atau tiga butir telur rebus (kuningnya saya hancurkan dan ditebarkan di rumput untuk makanan semut-semut di halaman rumah), sayuran segar, dan air putih. Ini sudah cukup untuk membuat tenaga saya tidak habis sampai buka puasa karena energi dari karbohidrat kompleksnya (gandum) akan dilepas pelan-pelan ke dalam tubuh sepanjang hari. Ketika berbuka, sesuai anjuran Rasulullah dan sufi tadi, saya biasanya minum segelas air, lalu shalat maghrib. Setelah shalat makan nasi seperti biasa, sebisa mungkin dengan porsi karbohidrat- protein-lemak-air proporsional. Dan tentu tidak untuk ‘balas dendam’ karena puasa seharian. Ini justru saat yang penting untuk melatih melawan keinginan hawa nafsu ‘makan sekenyang-kenyangnya’. Belajar sabar, Boss.
Waham Umum
Oke, kembali ke topik. Nah, saya kira, “berbukalah dengan yang manis-manis” itu adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka di atas. Karena kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa (disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis. Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi waham dan memunculkan budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat. Yang jelas, ‘berbukalah dengan yang manis’ itu disosialisasikan oleh slogan iklan perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.
Namun demikian, sekiranya ada di antara para sahabat yang menemukan hadits yang jelas bahwa Rasulullah memang memerintahkan berbuka dengan yang manis-manis, mohon ditulis di komentar di bawah, ya. Saya, mungkin juga para sahabat yang lain, ingin sekali tahu.
Semoga tidak termakan waham umum ‘berbukalah dengan yang manis’. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan waham umum tentang agama. Periksa dulu kebenarannya.
Kalau ingin sehat, ikuti saja kata Rasulullah: “Makanlah hanya ketika lapar, dan berhentilah makan sebelum kenyang.” Juga, isi sepertiga perut dengan makanan, sepertiga lagi air, dan sepertiga sisanya biarkan kosong (untuk bernapas).
“Kita (Kaum Muslimin) adalah suatu kaum yang bila telah merasa lapar barulah makan, dan apabila makan tidak hingga kenyang,” kata Rasulullah.
“Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang bersumber dari Miqdam bin Ma’di Kasib)
Semoga bermanfaat dan selamat menjalankan ibadah puasa....
No comments:
Post a Comment