Detik-detik menjelang Maghrib, ketika orang-orang mulai beranjak meninggalkan alun-alun, saya melihat seorang Ibu muda sedang duduk di tanah, memperhatikan anaknya yang lagi menaiki patung gajah bersama teman-teman sebayanya, di pinggir alun-alun. (Yang agak aneh dari patung itu, ia terlihat marah. Seolah-olah, patung itu tidak senang dinaiki oleh anak-anak itu, atau barangkali yang membuat patung itu yang sedang jengkel sehingga patung yang dibuatnya jadi bertampang gusar begitu?)
Sedang asyik saya memotret patung gajah dan para penunggangnya itu, tiba-tiba Si Ibu Muda menyapa, “Wartawan dari koran apa, Mas?”
Dengan biasa saja, saya menjawab bahwa saya adalah wartawan media online. Ibu Muda sempat bengong sebentar, berpikir, lalu manggut-manggut. “Kayak yang iklan di tipi itu ya, Mas? Online... online...!” ia menyanyikan potongan lagunya Saykoji. Gantian saya yang bengong. Tapi lantas maklum. Ini 'kan kota kabupaten. Orang yang di Jakarta saja banyak yang belum mafhum kok soal media online ini, apalagi yang di daerah tingkat dua begini? Jadi, ya saya senyum saja.
Maka saya lalu mengalihkan pembicaraan. “Pawainya rame ya, Mbak. Apa tiap tahun rame kayak gini?”
“Rame apanya, Mas?” sahut Ibu Muda, protes. “Seumur-umur saya nonton pawai tujuh-belasan, Mas. Ini pawai paling ndak rame. Masak jam segini udah abis!”
“Lho, biasanya sampai jam berapa, Mbak?” kaget juga saya mendengarnya. Dari jam dua sampai hampir Maghrib masih kurang? Walah...!
“Biasanya itu sampe abis Maghrib juga belum rampung, Mas. Lha selain itu, pawainya itu keliling kota, ndak cuma ngelilingin balai kota kayak sekarang ini!” jelas Ibu Muda, tandas, kesal.
Ooo, begitu...!
Dan ternyata memang benar. Pawai Tujuhbelasan tahun ini katanya yang paling tidak meriah. Pedagang kaki lima, penjual makanan dan minuman, penyedia sarana permainan buat anak-anak, penonton lain, dan pedagang mainan, semuanya berkata sama. Tahun ini pawainya payah! Apa yang hilang dari masyarakat ini? Kecintaan pada kemerdekaan? Atau... sudah kehilangan rasa hormat pada proklamasi?
Sepertinya memang ada yang kurang beres. Beberapa orang mengatakan, soalnya saatnya berdekatan dengan Ramadhan. Jadi, kebanyakan orang bersikap menahan diri. Sebab kebutuhan buat Ramadhan itu 'kan lumayan besar. Jadi, ya pengeluaran buat pawainya dihemat. Wah, berarti tahun depan akan lebih tidak ramai lagi, dong. Soalnya, tahun depan 17 Agustus itu pas bulan puasa. Apa berarti tidak akan ada pawai? Oalah... masak peringatan proklamasi hanya akan berlalu seperti hari minggu biasa? Alangkah tidak berartinya....
Padahal, faktanya, Proklamasi 17 Agustus 1945 itu berlangsung di bulan Ramadhan. Nah, apa jadinya kalau para penyelenggara proklamasi dulu memutuskan menunda proklamasi sampai sesudah Lebaran? Barangkali... akan lain lagi ceritanya negeri ini.
No comments:
Post a Comment