Ini peristiwa yang membuat saya sempat syok. Karena realitas yang terpampang di hadapan saya ketika itu sungguh memiriskan hati. Kejadiannya memang sudah lama, telah dua tahun silam, namun rasa sesaknya masih tersisa hingga sekarang – dan entah sampai kapan. Dan selain itu, keadaan kehidupan di negeri ini juga terlihat sudah semakin parah. Korupsi, kemiskinan, kejahatan, dan ketidak-pedulian semakin merajalela di mana-mana. Sungguh sangat menggentarkan hati. Akan jadi apa negeri ini nantinya? Entahlah, kita kan tidak tahu apa yang akan terjadi (bahkan) sepersekian detik lagi. Jadi, mari kita simak saja kisah saya dua tahun silam itu. Semoga bermanfaat....
Minggu malam tanggal 16 Agustus 2009. Besok 17 Agustus. Orang-orang ‘normal’ sudah libur sejak Sabtu. Tapi saya masih berkutat dengan pekerjaan di kantor, yang deadlinenya tiap 2 jam – maklum, saya bekerja di media online. Jadi, kecuali sudah mati, rasanya saya tidak akan bisa libur atau minta cuti. Makanya saya harus tetap sehat, tetap semangat, dan tetap tabah.
Petang, habis Isya, saya turun untuk cari makan di kedai-kedai atau restoran yang bertebaran di seputaran gedung kantor tempat saya bekerja. Dan saya memilih untuk ke warung langganan saya saja, yang walaupun agak jauh, tapi masakannya cukup enak dan harganya lumayan murah.
Ketika hampir mencapai warung langganan saya itu, saya melihat seorang kakek yang sudah sangat uzur – tapi terlihat masih sehat. Kakek itu duduk di depan toko yang sudah tutup, sedang merapikan dan menyusun gelas-gelas plastik bekas wadah air minum. Saya tergoda untuk melihat lebih jelas, maka saya berhenti dan memperhatikannya.
Kalau melihat dari pakaiannya yang dekil, karung plastik yang berisi botol dan gelas plastik bekas kemasan air minum, tentu saya segera mafhum bahwa beliau ini adalah seorang pemulung. Tapi... entah mengapa, saya merasa ada sesuatu yang berbeda pada orang ini. Maka saya mendekatinya dan berjongkok di dekatnya, menyapa. “Kek, udah makan belom?”
Kakek Pemulung menoleh saya, lalu menggeleng.
“Makan bareng sama saya, yuk! Di warteg itu!” saya menunjuk ke warung langganan saya.
“Dibungkusin aja. Kakek makannya di sini aja,” jawab Kakek Pemulung.
“Ya udah. Kakek mau pake lauk apa? Telor? Daging? Ikan?”
“Tahu aja. Kalo ada tempe sayur, boleh jugalah.”
Maka saya pergi ke warung. Untungnya di warung itu ada tahu dan tempe sayur. Saya memesan dua piring nasi dengan lauk tahu dan tempe sayur. Juga dua gelas teh manis hangat, serta dua gelas air putih. Saya meminta pelayan warung untuk membawakan minuman, sementara saya sendiri membawa nasinya.
Dengan beralaskan koran bekas, saya duduk bersila di sebelah Kakek Pemulung dan lalu melahap nasi dengan lauk tahu-tempe sayur itu. Siapa nyana, ternyata nikmat sekali! Saya lihat, Si Kakek Pemulung juga merasa demikian. Usai mengganyang nasi, diikuti teh manis hangat, lalu ditutup dengan air putih. Wah, kenyang.
Dan saya terkejut. Astaga, ternyata dunia bisa begini sederhana!
Selanjutnya, sambil iseng membantu Si Kakek Pemulung merapikan dan menyusun gelas plastik, saya mengajak beliau mengobrol. Sebetulnya lebih tepat mewawancara secara eksklusif, soalnya sebagai kuli berita, saya tak mungkin mau mengabaikan dorongan naluri ingin tahu saya – walau harus saya akui, hal itu seringkali terjadi secara spontan.
Maka Kakek Pemulung menggelar riwayat hidupnya. Dan saya jadi tercengang-cengang. Bagaimana tidak? Ternyata, beliau ini adalah seorang ‘pahlawan’!. Beliau terlibat aktif dalam berbagai pertempuran melawan penjajah, baik sebelum proklamasi, setelah merdeka – dari ancaman penjajah yang bermaksud comeback, dan pertempuran-pertempuran melawan bangsa sendiri yang memberontak. Dan terakhir, beliau ikut menumpas G30S PKI. Tapi akhirnya dia yang malah dituduh PKI. Lho?
Maka sejak itu, zaman kemerdekaan menjadi zaman yang paling buruk buat hidupnya. Dan akhirnya, dengan getir beliau mengatakan, “Seburuk-buruknya nasib kakek di zaman penjajahan, nyatanya masih lebih enak daripada nasib kakek seudah dituduh PKI. Padahal... kita sudah merdeka, lho.”
Saya tercenung. Memandang dengan hati serasa dirobek-robek, kepada sosok pahlawan yang telah dijerumuskan oleh fitnah saudara seperjuangannya sendiri ini.
“Kalau di zaman penjajahan, kita bisa angkat senjata memerangi para penjajah. Menang atau kalah, kita bermartabat. Tapi sekarang, sesudah kita merdeka, siapa yang mau dilawan? Orang mau angkat bicara saja sudah nggak boleh, kok...!” ujar Si Kakek Pemulung, sambil mengangkat karung plastik yang terisi setengahnya oleh gelas dan botol bekas kemasan air minum – sumber nafkahnya itu.
Saya merasa nelangsa sekali. Amat sangat kecewa pada ketidak-adilan kehidupan yang telah menimpa Kakek Pemulung itu. Tapi saya bisa berbuat apa, selain mengutarakannya dalam bentuk tulisan seperti ini? Kecil betul saya rasanya.
Sebelum beranjak, Kakek Pemulung dengan wajah keras tegas mengacungkan tinjunya, dengan penuh semangat kepada saya:
“Merdeka, Bung!”
“Iya, Kek,” jawab saya, gamang. Padahal kita sudah merdeka, lho...!
No comments:
Post a Comment