Kata yang satu ini seringkali menjadi kata yang paling sulit dan paling berat untuk diucapkan. Padahal kita sendiri juga seringkali menuntut agar orang lain bersedia mengucapkan kata itu kepada kita, apabila dia – entah sengaja atau tidak – melakukan sesuatu yang merugikan kita, baik secara fisik atau bahkan meski hanya secara tak langsung mengenai perasaan. Kalau demikian, rasanya bolehlah jika kita lantas menyebut kata “maaf” sebagai kata yang memiliki kandungan makna yang sangat kompleks dan dalam. Ya, karena nyatanya, dua negara bahkan bisa perang habis-habisan hanya gara-gara kata ini.
Dan Tuhan, dengan kemahabelaskasihanan-Nya, mengajar kita untuk tidak menjadikan kata itu sebagai kata yang terlalu memberatkan buat kita. Maka, dijadikan-Nya bulan Syawal sebagai bulan untuk saling memaafkan di antara manusia. Dan kita memuliakan saatnya pada tanggal 1 Syawal, dengan hadirnya Idul Fitri, sebagai hari yang melahirkan kita kembali ke dalam kesucian, fitrah, setelah selama satu bulan jiwa-raga kita dibersihkan melalui puasa dan digembleng dengan aneka ibadah lainnya. Maka, seharusnya kita memanfaatkan kemudahan yang telah Allah berikan kepada kita itu dengan sebaik-baiknya.
Namun apakah semua kesalahan lantas bisa dihapus dengan kata “maaf”? Seharusnya, iya – setelah “ganti rugi” yang menjadi prasyaratnya telah dipenuhi. Nah, masalahnya – bagaimana dengan soal “ganti-rugi” itu? Kalau ujudnya berupa material, fisik, mungkin itu tak terlalu menjadi masalah. Minimal bisa diusahakan. Tapi bagaimana kalau bentuknya itu bukan material? Perkataan yang menyakitkan hati misalnya. Apa harus dibalas dengan perbuatan yang sama. Caci dibalas caci, maki dibalas maki. Lha, kalau menggunjingkan bagaimana?
Allah telah membuat garis batas yang jelas dalam konteks perbuatan salah dan mekanisme permintaan maafnya. Hablum minallah dan hablum minannas. Urusan yang berkaitan dengan Allah, ya urusannya sama Allah. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan sesama manusia, ya selesaikan secara manusia. Artinya, kalau kita berbuat salah – tidak sholat atau tidak puasa secara sengaja, kita harus minta maafnya sama Allah, dengan tobat. Tapi kalau kita mencuri, atau memfitnah, atau bahkan cuma menggunjingkan tetangga, ya harusnya minta maaf dulu sama “korbannya” dan setelah itu baru minta maaf sama Allah.
Masalahnya, nah, ini masalahnya, nih. Kalau pas Lebaran alias Idul Fitri, kan yang namanya maaf-memaafkan lagi diobral tuh – sale besar-besaranlah. Apa berarti kalau kita sudah bilang, “minal aidin wal faidzin,” kepada orang yang selama ini selalu kita gunjingkan, maka semua kesalahan kita terhadap orang itu otomatis termaafkan? Rasanya tidak. Sebab azas “ganti-rugi”nya belum ada. Nah, soal ganti ruginya itu bagaimana?
Kalau mengikut rumus para pendekar, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang budi dibayar budi. Nah, kalau hutang fitnah atau ghibah, apa harus dibayar dengan perbuatan serupa? Logisnya sih tidak harus begitu. Yang paling tepat adalah dengan pengakuan dan permintaan maaf atasnya. Jadi, kalau kita pernah memfitnah, ya kita harus bilang, “Maafkan saya, karena saya pernah memfitnah kamu.” Atau, “Maafkan saya karena sering menggunjingkan kamu.” Begitu. Supaya si pemberi maaf mafhum dalam konteks apa dia harus memberi kita maaf.
Tapi, tak perlu jugalah kita mengungkapkan kesalahan kita itu secara rinci, seperti: “Maafkan saya, karena memfitnah bahwa kamu kaya lewat jalan memuja siluman kampret.” Atau, “Maafkan saya karena sering menggunjingkan jempol kamu yang keriting itu.” Mengapa? Karena perincian itu akan membuat si korban jadi sakit hati. Soalnya, bisa jadi selama ini dia tidak pernah tahu kalau dia kita fitnah atau gunjingkan begitu. Nah, makanya supaya memudahkan dia dalam memberi kita maaf, ya yang kita ungkapkan garis besarnya saja: memfitnah atau menggunjingkan.
Terkecuali, kalau dia tanya, “Emangnya kamu pernah memfitnah atau menggunjingkan saya kayak gimana, sih?” Nah, barulah kita perlu merinci kesalahan kita kepadanya itu. Soal dia akan jadi sakit hati atau marah, ya... itu akibat yang tak bisa dielakkan. Jadi, kalau kita ditonjok dulu, atau dicakar dulu sebelum dimaafkan, ya itu adalah bagian dari proses pemaafan. Yang penting azas “ganti-rugi” sudah terpenuhi dan kita pun sudah dimaafkan. Iya, toh?
Jadi, mumpung lagi musimnya nih, Lebaran gitu, mari kita minta maaf....
Dan Tuhan, dengan kemahabelaskasihanan-Nya, mengajar kita untuk tidak menjadikan kata itu sebagai kata yang terlalu memberatkan buat kita. Maka, dijadikan-Nya bulan Syawal sebagai bulan untuk saling memaafkan di antara manusia. Dan kita memuliakan saatnya pada tanggal 1 Syawal, dengan hadirnya Idul Fitri, sebagai hari yang melahirkan kita kembali ke dalam kesucian, fitrah, setelah selama satu bulan jiwa-raga kita dibersihkan melalui puasa dan digembleng dengan aneka ibadah lainnya. Maka, seharusnya kita memanfaatkan kemudahan yang telah Allah berikan kepada kita itu dengan sebaik-baiknya.
Namun apakah semua kesalahan lantas bisa dihapus dengan kata “maaf”? Seharusnya, iya – setelah “ganti rugi” yang menjadi prasyaratnya telah dipenuhi. Nah, masalahnya – bagaimana dengan soal “ganti-rugi” itu? Kalau ujudnya berupa material, fisik, mungkin itu tak terlalu menjadi masalah. Minimal bisa diusahakan. Tapi bagaimana kalau bentuknya itu bukan material? Perkataan yang menyakitkan hati misalnya. Apa harus dibalas dengan perbuatan yang sama. Caci dibalas caci, maki dibalas maki. Lha, kalau menggunjingkan bagaimana?
Allah telah membuat garis batas yang jelas dalam konteks perbuatan salah dan mekanisme permintaan maafnya. Hablum minallah dan hablum minannas. Urusan yang berkaitan dengan Allah, ya urusannya sama Allah. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan sesama manusia, ya selesaikan secara manusia. Artinya, kalau kita berbuat salah – tidak sholat atau tidak puasa secara sengaja, kita harus minta maafnya sama Allah, dengan tobat. Tapi kalau kita mencuri, atau memfitnah, atau bahkan cuma menggunjingkan tetangga, ya harusnya minta maaf dulu sama “korbannya” dan setelah itu baru minta maaf sama Allah.
Masalahnya, nah, ini masalahnya, nih. Kalau pas Lebaran alias Idul Fitri, kan yang namanya maaf-memaafkan lagi diobral tuh – sale besar-besaranlah. Apa berarti kalau kita sudah bilang, “minal aidin wal faidzin,” kepada orang yang selama ini selalu kita gunjingkan, maka semua kesalahan kita terhadap orang itu otomatis termaafkan? Rasanya tidak. Sebab azas “ganti-rugi”nya belum ada. Nah, soal ganti ruginya itu bagaimana?
Kalau mengikut rumus para pendekar, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang budi dibayar budi. Nah, kalau hutang fitnah atau ghibah, apa harus dibayar dengan perbuatan serupa? Logisnya sih tidak harus begitu. Yang paling tepat adalah dengan pengakuan dan permintaan maaf atasnya. Jadi, kalau kita pernah memfitnah, ya kita harus bilang, “Maafkan saya, karena saya pernah memfitnah kamu.” Atau, “Maafkan saya karena sering menggunjingkan kamu.” Begitu. Supaya si pemberi maaf mafhum dalam konteks apa dia harus memberi kita maaf.
Tapi, tak perlu jugalah kita mengungkapkan kesalahan kita itu secara rinci, seperti: “Maafkan saya, karena memfitnah bahwa kamu kaya lewat jalan memuja siluman kampret.” Atau, “Maafkan saya karena sering menggunjingkan jempol kamu yang keriting itu.” Mengapa? Karena perincian itu akan membuat si korban jadi sakit hati. Soalnya, bisa jadi selama ini dia tidak pernah tahu kalau dia kita fitnah atau gunjingkan begitu. Nah, makanya supaya memudahkan dia dalam memberi kita maaf, ya yang kita ungkapkan garis besarnya saja: memfitnah atau menggunjingkan.
Terkecuali, kalau dia tanya, “Emangnya kamu pernah memfitnah atau menggunjingkan saya kayak gimana, sih?” Nah, barulah kita perlu merinci kesalahan kita kepadanya itu. Soal dia akan jadi sakit hati atau marah, ya... itu akibat yang tak bisa dielakkan. Jadi, kalau kita ditonjok dulu, atau dicakar dulu sebelum dimaafkan, ya itu adalah bagian dari proses pemaafan. Yang penting azas “ganti-rugi” sudah terpenuhi dan kita pun sudah dimaafkan. Iya, toh?
Jadi, mumpung lagi musimnya nih, Lebaran gitu, mari kita minta maaf....
No comments:
Post a Comment