Friday, October 21, 2011

Alam, Sang Guru

ILMU bukan hanya apa yang disampaikan oleh seorang Begawan yang tinggal di tengah hutan atau pun guru yang mengenakan seragam PNS di depan kelas. Ilmu juga tidak hanya terdapat pada jajaran buku di sebuah perpustakaan yang sangat lengkap koleksinya, tapi juga bertebaran di sepanjang jalan, bahkan di bawah tumpukan sampah. Karena ilmu adalah esensi pengetahuan yang kita tangkap dan pahami. 
Alkisah, ada seorang guru sufi yang sudah di penghujung usia, ditanya oleh seorang murid yang sangat mengagumi kepintaran dan kebijakannya. “Guru, siapakah sesungguhnya guru Anda? Tentunya dia seorang yang banyak sekali ilmunya dan luas sekali pengetahuannya, bukan?”

Dengan santun Sang Guru Sufi menjawab, “Dalam kehidupanku, aku memiliki ribuan guru yang tak mungkin aku sebutkan satu per satu kepadamu. Menyebut nama mereka satu per satu akan memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun hingga habis sisa usiaku ini. Namun demikian, aku akan ceritakan kepadamu beberapa di antara mereka."
Sang Murid gembira, dan mendengarkan dengan seksama.
“Salah satu di antara mereka adalah seorang pencuri,” Sang Guru membuka penuturannya. “Suatu ketika, aku tersesat di gurun pasir, hingga tiba di satu desa yang tak kukenal. Karena telah larut malam, semua tempat telah tutup. Tetapi akhirnya aku bertemu dengan seorang pemuda yang tengah melubangi dinding sebuah rumah. Aku bertanya kepadanya, di mana aku bisa menginap. Dia bilang, kalau sudah malam begini sulit untuk mendapatkan tempat menginap. Tapi dia menawariku untuk menginap bersamanya. Itu kalau aku mau, karena dia mengaku bahwa dirinya seorang pencuri.”
“Sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menumpang di rumahnya selama satu bulan! Dan setiap malam, sebelum pergi keluar, ia bilang kepadaku bahwa ia akan pergi bekerja, dan menyuruhku beristirahat serta berdoa. Setiap ia kembali, aku bertanya kepadanya, apakah ia mendapatkan sesuatu? Dia selalu menjawab, malam ini tidak. Tapi besok dia akan mencobanya lagi. Menurutnya, jika Allah berkehendak, niscaya dia akan mendapatkan yang diinginkannya. Dia tak pernah putus asa, dan selalu bersemangat.”
“Ketika aku berkhalwat (mengasingkan diri) untuk taqarrub pada Allah selama bertahun-tahun, aku merasa tidak menghasilkan apa-apa, hingga membuat aku putus asa dan patah semangat, sampai-sampai aku berniat menghentikan aktivitas ini. Namun tiba-tiba, aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata kepadaku pada malam hari, jika Allah berkehendak, niscaya besok dia akan mendapatkan yang diinginkannya.”
“Dari pencuri itu, aku belajar tentang tidak bolehnya berputus asa dari rahmat Allah. Jika untuk mencuri saja dia begitu bersemangat dan tak pernah putus asa, mengapa untuk kebaikan dan kemuliaan kita gampang putus asa? Sungguh, pencuri itu telah mengajariku arti penting tidak boleh berputus asa.”
Sang Murid mengangguk-angguk, paham maksud Sang Guru.
“Guruku yang lainnya adalah seekor anjing," lanjut Sang Guru. "Ketika aku pergi ke sungai, karena haus.  Seekor anjing mendekatiku, nampaknya ia juga kehausan. Pada saat ia menjulurkan kepalanya ke air, anjing itu melihat anjing lain di air. Ia terkejut, ketakutan melihat bayangannya sendiri. Seketika ia menggonggong dan berlari menjauh. Namun, mungkin karena sangat kehausan, ia kembali lagi. Tetapi kali ini, ia telah membuang jauh rasa takutnya. Ia melompat ke dalam air itu. Byuurr...! Ternyata, bayangannya hilang!”
“Pada saat itulah aku menyadari pesan dari Tuhan, bahwa ketakutanku hanyalah bayangan. Ceburkanlah dirimu kedalamnya, maka bayangan rasa takutmu akan hilang.”
Sang Murid kembali mengangguk-angguk. Sang Guru pun terus melanjutkan penuturannya.
“Guruku selanjutnya adalah seorang anak kecil. Tatkala aku memasuki sebuah kota, aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang lilin yang menyala, berjalan menuju masjid. Sesampainya di masjid ia meletakkan lilinnya di sana. Sekadar bercanda, aku bertanya, apakah dia sendiri yang menyalakan lilin itu? Dengan bangga, anak itu menjawab, bahwa dirinya sendirilah yang menyalakan lilin tersebut. Aku bilang kepadanya, sebelumnya lilin itu belum menyala, lalu sekarang sudah menyala. Maka aku tanya kepadanya, apakah dia bisa menunjukkan kepadaku darimana sumber cahaya pada lilin ini?”
“Anak kecil itu tertawa, dan lalu meniup mati lilinnya. Setelah itu ia balik bertanya kepadaku, bukankah Bapak telah melihat cahayanya pergi? Aku mengiyakan. Dan dia bertanya lagi kepadaku, apakah aku bisa menunjukkan kepadanya, ke mana perginya cahaya itu?”
“Aku tersentak. Pertanyaan tak terduga anak kecil itu sungguh menohok sikap sombongku. Ego dan seluruh pengetahuanku runtuh. Pada saat itu, aku menyadari kebodohanku sendiri. Ilmu dan pengetahuanku seolah terbang entah ke mana.”
“Adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukan seorang murid. Aku menerima pelajaran dari semua peristiwa kehidupan. Itulah guruku. Pelajaran yang kuterima selaku seorang murid, jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang kau terima. Karena alam, berupa langit, awan, angin, air, tanah, tumbuhan, hewan, adalah guru-guru kehidupanku. Aku memang tidak memiliki seorang guru, tetapi aku memiliki berjuta guru sebagai sumber ilmu....”
Imam Ar-Razi, seorang mufasir besar abad pertengahan, pengarang kitab tafsir “Mafatih al-Ghaib”, menyebutkan bahwa penggunaan istilah ‘alam’ atas alam raya ini dikarenakan alam menjadi perantara manusia untuk mengenal Allah (Ma’rifatullah). Dengan mengamati alam secara seksama, kita akan mampu menyingkap rahasia besar di balik segala yang nampak. Rahasia ketuhanan dan rahasia tentang hikmah kehidupan. Alam adalah guru kehidupan, yang jarang kita sadari keberadaannya. Alam adalah sebuah kitab besar yang berisi ilmu pengetahuan dan hikmah kehidupan. Maka, untuk mendapatkan ilmu dan hikmah kehidupan, mari kita buka lembar demi lembar kitab besar ini....

No comments:

Post a Comment