Wednesday, October 5, 2011

Penerobos Lampu Merah

Dari kejauhan, Jono melihat lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Maka segera saja ia menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar, berharap semoga ia bisa melewatinya. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus memijak pedal gas, melajukan mobilnya.

Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraannya, agak menjauh, sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hei, itu 'kan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jono agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya. "Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jon." Tanpa senyum. 
"Duh, sepertinya saya kena tilang, nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah." 
"Oh ya?" Tampaknya Bobi agak ragu. 
Nah, bagus kalau begitu. Jono aemakin pede. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Dia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong." 
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu menerobos lampu merah di persimpangan ini." 

Oooh, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi. "Jadi, kamu mau menilangku? Sumpah, tadi aku tidak menerobos lampu merah. Sewaktu aku lewat, lampu kuning masih menyala." Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

"Sudahlah, Jon. Kami tadi melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu." 
Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu, sedikit. Ah, lima senti sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. 
Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei, apa ini? Ternyata SIM-nya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku? Lalu, nota apa ini? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi itu.
"Halo, Jono. Tahukah kamu, Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut dan menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap, agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak supaya dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku, Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. Salam, Bobi." 
Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya, entah ke mana. Sepanjang jalan pulang, ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu, sambil berharap kesalahannya dimaafkan....
Hidup ini sangat berharga, maka jalanilah dengan penuh hati-hati. Drive Safely Guys.

No comments:

Post a Comment