Tuesday, October 18, 2011

Amanah

SETELAH berdakwah dan berjuang bertahun-tahun dengan beragam tribulasi, akhirnya panji-panji Islam berkibar dengan megahnya di seluruh Jazirah Arab hingga ke Persia dan Syria. Dan karenanya, dari segala penjuru mengalirlah harta benda ke kota Madinah. Di samping harta benda, banyak pula tawanan perang dari pihak musuh-musuh Islam.
Pada saat itu, anak Rasulullah hanya tinggal Fatimah. Puteri beliau yang lain sudah meninggal dunia. Rasulullah sangat menyayangi Fatimah, sebaliknya Fatimah juga amat sayang dan hormat pada ayahnya. Setiap Fatimah datang ke rumahnya, beliau selalu menyambutnya dengan kedua tangan terbuka, kemudian memeluknya dengan penuh kasih sayang. Lalu, dengan sapu tangan, disekanya keringat yang mengalir di kening puterinya itu. Sesudah itu, beliau suruh Fatimah duduk di sisi beliau. Sambil mengelus-elus kepala puterinya, Rasulullah bertanya tentang kesehatannya, juga kesehatan suami dan anak-anaknya.

Pada suatu hari, Fatimah datang lagi mengunjungi rumah ayahnya. Seperti biasa, Rasulullah menyambutnya dengan sukacita dan memeluknya penuh kasih sayang. “Bagaimana kabarmu, Puteriku? Bagaimana kabar suami dan anak-anakmu?” tanya Rasulullah.
“Alhamdulillah, kami semua baik-baik saja, Ayah.” Tetapi suara Fatimah terdengar parau, seperti menyimpan kesedihan. Kemudian dia melanjutkan bicaranya, “Ayah, tugas yang harus kukerjakan di rumah banyak sekali. Melayani suami, mengasuh anak, memasak di dapur, bersih-bersih rumah, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Coba Ayah bayangkan, anak kami lima, tamu datang tiada henti-hentinya, sejak pagi hingga petang, dan hanya aku sendirian yang melayani mereka. Rasanya aku tak tahan lagi, Ayah. Tubuhku benar-benar sangat letih dan serasa remuk redam!”
“Aku dengar, di Madinah sekarang ini banyak tawanan perang perempuan. Ayah, mohon saya diberi seorang saja, untuk menjadi pembantu saya di rumah. Niscaya dia akan sangat membantu meringankan bebanku. Tolonglah aku, Ayah... bukankah Ayah Kepala Negara di negeri ini...?” rengek Fatimah.
Dengan penuh perhatian Rasulullah mendengarkan keluhan puteri tercintanya. Setelah Fatimah selesai bicara, beliau menjawab dengan hati sedih, “Anakku sayang... seluruh tawanan dan harta yang engkau lihat itu, bukanlah milik Ayah. Itu semua adalah hak kaum Muslimin yang berjasa selama peperangan. Ini semua hanya amanah bagi Ayah. Dan kewajiban Ayah, hanya membagikannya secara adil kepada yang berhak mendapatkannya, karena jasanya. Sementara kamu, Anakku, tidak ikut dalam peperangan. Karena itu, kamu tidak berhak mendapatkan harta ini sama sekali, Anakku. Termasuk tidak seorang pun dari tawanan perempuan itu, yang kamu minta, yang bisa aku berikan kepadamu. Maafkan Ayah ya, Sayangku....”
Kemudian, Rasulullah yang mulia ini menasihati puteri tercintanya, “Anakku, dunia ini adalah ladang untuk beramal. Dan hidup di dunia ini berarti bekerja. Maka penuhilah kewajibanmu sebaik-baiknya. Jika kamu merasa penat dan letih, dan merasakan kewajibanmu begitu sangat berat, berdoalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan kekuatan kepadamu....”
“Terima kasih, Ayah... maafkan kesalahan puterimu ini, yang kurang sabar menerima ujian hidup...,”  ujar Fatimah, menyesal, sambil meneteskan airmata.
Rasulullah kemudian memeluk erat puteri kesayangannya itu, dengan penuh kasih, dengan airmata mengalir di pipi beliau, “Ya Allah, bekalilah kesabaran dalam diri puteriku ini, dan anugerahilah ia kelak dengan surga-Mu....”

No comments:

Post a Comment