Wednesday, August 17, 2011

Pawai 17-an: Untuk Kemerdekaan atau Saweran?

Dua tahun silam - 2009, ketika saya sempat melarikan diri beberapa waktu dari pekerjaan saya, pada kesempatan peringatan proklamasi ke-64 tahun, saya menyempatkan diri buat mengikuti puncak acara peringatan itu di kampung halaman ibu saya, di Kota Batang, Jawa Tengah. Di sana saya melihat bahwa detik-detik proklamasi masih menjadi saat-saat yang penting bagi Bangsa Indonesia – ya setidaknya buat masyarakat Kabupaten Batang itu. Karena antusiasme mereka pada peringatan kemerdekaan Republik Indonesia masih tetap semarak, walaupun mereka menilainya sudah tak seramai tahun-tahun sebelumnya. Namun di mata saya, yang hampir seumur hidup berkutat di Jakarta saja, itu sudah terlihat luar biasa. Nah, berikut ini adalah hasil laporan pandangan mata saya, yang saya bagi dalam 3 tulisan. Silakan disimak....

Kegiatan menyambut Peringatan Proklamasi Republik Indonesia ini telah berlangsung puluhan tahun, sehingga masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dan sekitarnya sudah menganggap kegiatan ini sebagai agenda tetap di tiap tahun. Dan karenanya, mereka semua selalu siap. Yang dapat giliran ikut berpawai – dari mulai murid sekolah, pegawai pemerintah, sampai organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya, siap melaksanakan ‘kewajiban’ itu. Sedang yang tak dapat giliran untuk berpartisipasi, juga turut meramaikan dengan hadir ke alun-alun dan depan balaikota untuk menonton.
Dan memang meriah sekali. Acara yang mulai digulirkan setelah matahari tergelincir dari puncak langit ini, tak ayal baru menjelang Maghrib usainya. Hal itu dikarenakan banyaknya peserta. Namun begitu, Bapak Bupati dan Ibu serta pejabat pemda lainnya, tetap bertahan di podium hingga peserta terakhir melintas. Dan tak terbilang berapa lembar seratus ribuan yang disawerkan Bapak Bupati kepada peserta-peserta yang penampilannya menarik.
Karena berharap mendapat saweran itu, maka banyak peserta yang berupaya keras tampil aneh-aneh. Namun tentu saja tak kalah banyak yang hanya tampil ala-kadarnya. Asal ikut berpartisipasi saja. Memang tidak dilarang atau dicela sih, tapi rasanya, sikap seperti itu hanya membuang-buang waktu saja. Bukankah lebih baik tidak ikut, daripada hanya merusak pemandangan? Atau karena dipaksa harus ikut?
Penampil yang seru biasanya datang dari anak-anak sekolah, yang didandani macam-macam. Ada model pengantin, Ibu dan Bapak tani, wayang, dan sebagainya. Namun yang paling heboh pada pawai kali ini adalah penampilan serombongan anak muda yang mengecat putih seluruh tubuhnya, berjalan tanpa aturan, bernyanyi tanpa aturan, sambil menarik peti mati bertuliskan “Peti mati buat teroris”. Pak Bupati dan penonton senang melihatnya. Bagus... bagus...! 
Namun, yang jelas mendapat saweran tiga ratus ribu rupiah dari Bapak Bupati adalah tim barongsai. Karena ketiga barongsainya, dengan nakalnya menggoda Bapak Bupati, dan karenanya ketiganya masing-masing diacungi selembar seratus ribuan. Lumayan, buat bayar sewa kostum barongsai – barangkali.
Dirgahayu Republik Indonesia!

No comments:

Post a Comment