Thursday, August 18, 2011

Segelas Besar Susu

Suatu hari, seorang anak lelaki pedagang asongan, yang biasa menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu di komplek-komplek rumah dinas, kehabisan uang. Dan pada saat itu juga, dia dalam kondisi sangat lapar. Dia memutuskan untuk meminta makanan kepada penghuni rumah berikutnya. Akan tetapi, dia seketika kehilangan keberanian saat melihat seorang wanita muda – sepertinya istri seorang pejabat - membuka pintu rumah. Ia tidak jadi meminta makanan, dia hanya mencoba memberanikan diri untuk meminta segelas air.

Wanita muda tersebut melihat dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar. Oleh karena itu, dia membawakan segelas besar susu. Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat namun lahap.
Ketika ia mengambil nafas di tengah regukannya, dia bertanya, "Berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini?"
Wanita itu menjawab, "Kamu tidak perlu membayar. Ibu kami mengajarkan agar tidak menerima bayaran untuk kebaikan," jawab wanita itu.
Kemudian anak lelaki itu menghabiskan susunya dan berkata dalam hati, "Aku berterima kasih dan sangat bersimpati kepada Ibu muda ini, dia tidak sombong sekalipun istri seorang pejabat."
Sekian tahun kemudian, wanita muda itu (yang kini sudah agak lanjut usianya) mengalami sakit yang sangat parah. Kondisinya kritis. Para dokter sudah tidak sanggup menangani penyakitnya yang tergolong langka. Keluarganya menyarankan agar ia pergi ke kota besar tempat dimana terdapat dokter spesialis yang berkemungkinan akan mampu menangani penyakit langkanya tersebut. Maka dengan uang hasil menjual barang-barang miliknya yang tersisa, dan dengan bantuan para keluarga dan sahabatnya sesama pensiunan, janda pensiunan pegawai pemerintahan ini berangkat ke kota.
Di Rumah Sakit, dr. Tatang Sutarman dipanggil untuk melakukan pemeriksaan terhadap si wanita tersebut. Saat mendengar nama kota asal si pasien, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dr. Tatang Sutarman. Dia segera bangkit dan bergegas turun melalui hall rumah sakit menuju kamar si wanita itu. Dengan hati berdebar dia menemui si wanita itu. Dan dia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Kemudian dia kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawanya.
"Pokoknya, ibu itu harus sembuh," demikian obsesinya. Mulai hari itu, dia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita tersebut.
Akhirnya, setelah melalui perjuangan yang panjang selama lebih dari tiga bulan, diperolehlah kemenangan. Wanita itu sembuh! Lalu dr. Tatang Sutarman meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan wanita itu kepadanya. Dr. Tatang Sutarman melihatnya dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, lalu mengirimkannya ke kamar pasien.
Ia yakin bahwa ibu ini tidak akan mampu membayar tagihan tersebut. Usaha yang dirintis bersama suami (almarhum), ketika memasuki masa pensiun, gagal karena ditipu orang, demikian cerita si ibu, kepada dr. Tatang beberapa waktu lalu. Hal ini yang membuatnya jatuh miskin, dan dengan seorang anak yang saat ini juga menganggur.
Lembar tagihan itu akhirnya sampai ke tangan ibu malang itu. Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut. Dia sangat yakin bahwa dia tak akan mampu membayar biaya pengobatan ini, walaupun misalnya dengan mencicilnya seumur hidup.
Namun toh dia tak punya pilihan selain melihatnya dan menerima kenyataan, bahwa ia akan sangat syok melihat besaran angkanya. Maka akhirnya, dia memaksakan diri untuk melihat tagihan tersebut. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan itu. Dia membaca tulisan yang berbunyi:
"Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu!"
Tertanda,
Dr. Tatang Sutarman
Kenikmatan Berbagi
Menilik kisah di atas, dapat diartikan bahwa memberi berarti melakukan inisiatif pertama tanpa mengharapkan balasan. Karena apa yang dilakukan telah diperhitungkan oleh Yang Maha Kuasa sebagai bagian dari kepedulian dan kecintaan terhadap sesamanya.
Para psikolog di Eropa telah melakukan serangkaian percobaan longitudinal dan menarik kesimpulan bahwa orang yang selalu memberi tanpa berharap balasan, ternyata memiliki daya tahan mental yang tinggi, lebih mampu menghadapi cobaan hidup, dan terhindar dari penyakit-penyakit yang diakibatkan stress.
Suatu ketika, Rasulullah SAW. pernah bersabda, "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah."
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa memberi lebih baik dari menerima. Akan tetapi, tidak selamanya pemberian selalu lebih baik dari penerimaan. Di mata Sang Maha Pencipta, bukan besar atau kecilnya pemberian yang membuat pemberian itu berharga, tetapi keikhlasan kitalah yang menentukan nilai pemberian itu.
Semakin ikhlas, semakin besar pula nilai dari suatu pemberian di sisi-Nya. Tentang hal ini, Rasulullah SAW. bersabda, "Orang yang dermawan itu dekat dengan kebenaran dan dengan sesama makhluk. Sedangkan orang yang kikir itu jauh dari kebenaran dan dari sesama makhluk.” (Al Hadits)
Hidup di dunia sering membuat panik. Rezeki sempit, posisi sulit, dan kondisi yang serba tidak stabil seringkali membuat manusia galau. Untuk menghilangkan kegalauan hati, manusia perlu mencari rahmat dan pahala Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. "Rahmat yang membuat hati merasa berkecukupan. ‘Pahala’ yang membuat jiwa menjadi gembira."
Hanya manusia yang mempunyai kedalaman iman dan ketawakalan yang kuat sajalah yang tidak pernah galau dan sedih terhadap dunia ini. Ia tidak pernah merasa khawatir menghadapi hari esok, karena ia tahu Allah menjamin rezeki hamba-Nya. Ia mendahulukan perniagaan dengan Allah, sebab yakin terhadap janji Allah yang akan menggantinya dengan balasan yang terbaik.
Karenanya, kini saatnya, bagi setiap kita untuk membuktikan janji Allah dalam berbagi, dalam berinfak. Dengan berbagi atau berinfak, kita akan mendapatkan pahala-Nya. Juga, dengan berbagi, dengan berinfak, segala kegalauan, kerisauan, kesedihan, dan kegundahan hati akan dihilangkan. Bukankah ini sebuah kabar gembira bagi Anda yang selalu resah?

No comments:

Post a Comment