Sedang asyik saya memotret patung gajah dan para penunggangnya itu, tiba-tiba Si Ibu Muda menyapa, “Wartawan dari koran apa, Mas?”
Dengan biasa saja, saya menjawab bahwa saya adalah wartawan media online. Ibu Muda sempat bengong sebentar, berpikir, lalu manggut-manggut. “Kayak yang iklan di tipi itu ya, Mas? Online... online...!” ia menyanyikan potongan lagunya Saykoji. Gantian saya yang bengong. Tapi lantas maklum. Ini 'kan kota kabupaten. Orang yang di Jakarta saja banyak yang belum mafhum kok soal media online ini, apalagi yang di daerah tingkat dua begini? Jadi, ya saya senyum saja.
Maka saya lalu mengalihkan pembicaraan. “Pawainya rame ya, Mbak. Apa tiap tahun rame kayak gini?”
“Rame apanya, Mas?” sahut Ibu Muda, protes. “Seumur-umur saya nonton pawai tujuh-belasan, Mas. Ini pawai paling ndak rame. Masak jam segini udah abis!”

“Biasanya itu sampe abis Maghrib juga belum rampung, Mas. Lha selain itu, pawainya itu keliling kota, ndak cuma ngelilingin balai kota kayak sekarang ini!” jelas Ibu Muda, tandas, kesal.
Ooo, begitu...!

Sepertinya memang ada yang kurang beres. Beberapa orang mengatakan, soalnya saatnya berdekatan dengan Ramadhan. Jadi, kebanyakan orang bersikap menahan diri. Sebab kebutuhan buat Ramadhan itu 'kan lumayan besar. Jadi, ya pengeluaran buat pawainya dihemat. Wah, berarti tahun depan akan lebih tidak ramai lagi, dong. Soalnya, tahun depan 17 Agustus itu pas bulan puasa. Apa berarti tidak akan ada pawai? Oalah... masak peringatan proklamasi hanya akan berlalu seperti hari minggu biasa? Alangkah tidak berartinya....
Padahal, faktanya, Proklamasi 17 Agustus 1945 itu berlangsung di bulan Ramadhan. Nah, apa jadinya kalau para penyelenggara proklamasi dulu memutuskan menunda proklamasi sampai sesudah Lebaran? Barangkali... akan lain lagi ceritanya negeri ini.
No comments:
Post a Comment