Thursday, June 16, 2011

A.N.A.K

Sonny sekeluarga menikmati weekend dengan jalan-jalan ke mal dan diakhiri dengan makan di restoran cepat saji. Ketika mereka sedang makan bakmi, Abang – anak sulung Sonny – bikin ulah dan mangkuk bakminya terjun bebas dari meja: Prang!
“Yah, Abang...!” ujar Ade, adik Si Abang, membeliak.
Abang pucat pasi dan melihat pada orangtuanya dengan tatapan gemetar. Bunda mendelik, nyaris meledak, tapi urung karena isyarat genggaman lembut Sonny di bahunya. Namun matanya yang melotot garang, tetap membuat Abang mengkerut.

“Kamu duduk saja di situ, biar pelayan yang membereskannya,” kata Sonny pada Abang, saat melihat anak lelakinya itu bergerak hendak turun dari kursinya.
“Maaf, Yah....” Abang sangat berharap mendapat pengampunan.
“Iya. Ayah tau kamu nggak sengaja,” hibur Ayah. “Tapi lain kali kamu harus lebih hati-hati,” nasihatnya kemudian.
Abang mengangguk, “Iya, Yah.” Ia terlihat lega dan segera menjadi dirinya kembali.
Di rumah, di pembaringan – sambil memandang Bunda, Ayah mengungkap sebuah riwayat masa kanak-kanak yang selama ini hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu.
“Orangtua saya bukan orang miskin. Tapi kami harus berhemat supaya biaya sekolah saya, kakak dan adik saya bisa terbayar.” Ayah menghela napas. Pandangannya menerawang. “Satu-satunya hiburan mewah kami waktu itu ialah pergi ke pasar tiap hari Minggu. Kamu tau apa yang menyebabkan kegiatan belanja mingguan itu jadi mewah buat kami?”
Bunda menggeleng.
“Soalnya seusai belanja, kami lalu melepas lelah dan makan siang di warung bakso.”
“Cuma warung bakso?” Bunda tercengang.
“Tapi itu bakso paling enak di zaman itu.”
“Oooh....”
“Tapi karena keterbatasan keuangan, orangtua saya terpaksa mengajak kami secara bergiliran. Kalau minggu ini giliran kakak saya yang ikut ke pasar, maka minggu berikutnya giliran saya, dan minggu-minggu selanjutnya giliran adik-adik saya. Karena lezatnya bakso itu, dan lamanya jadual giliran, membuat kami jadi amat gembira kalau giliran kami tiba. Dan itu sering membuat kami jadi lepas kontrol.”
Hal itu juga terjadi pada Sonny. Hari itu, karena sangat gembiranya, ia malah melakukan kesalahan fatal. Ia membuat mangkuk baksonya jatuh: Prang! Hancur berantakan. Sonny terpaku dengan hati mencelos dan wajah pucat pasi. Tanpa belas kasihan, ibunya seketika mendampratnya dengan perkataan yang kejam.
Maka hancurlah semuanya. Kegembiraan hari Minggu yang selama ini menjadi satu-satunya penghiburan di masa kanak-kanaknya, seketika berubah menjadi hari petaka yang menorehkan luka traumatik di sanubarinya. Luka yang tak akan pernah hilang selamanya.
“Waktu itu saya cuma anak kecil yang terlalu gembira dan berbuat salah. Kenapa tidak dimaafkan saja? Kenapa malah dicaci-maki dan dipermalukan dengan begitu kejam?” gugat Sonny, mau menangis. “Ya Tuhan... maafkan saya. Rasa sakit ini yang membuat saya tak lagi bisa mencintai ibu saya. Rasa sakit ini yang membuat saya tak lagi bisa merasa gembira tiap kali berada di dekat ibu saya....”
Bunda tercekat dengan hati dirobek rasa cemas. Maka bergegas ia pergi ke kamar anaknya. Untuk memeluk dan mencium Si Abang. Dan meminta maaf padanya, dan berharap anak lelakinya itu tak membencinya....

No comments:

Post a Comment