Friday, June 10, 2011

Pengemis Berwajah Idiot

Ada banyak fenomena kehidupan di sekitar kita. Adakalanya kita memperhatikan, namun seringkali kita abaikan – karena kesibukan kita terhadap diri sendiri. Suatu hari di dalam kehidupan saya, Tuhan mempertemukan saya dengan sebuah realitas yang membuat saya tercengang-cengang. Tapi bagaimana mungkin kita menafikan kenyataan yang begitu gamblang di depan mata kita? Dan ini bukan soal kuman di seberang lautan diamat-amati tapi gajah di depan mata tak diperhatikan. Ini soal bagaimana hidup itu bermain-main.


   Saya adalah orang biasa yang suka bekerja, sehingga saya seringkali belum akan meninggalkan kantor kalau malam belum nyaris habis tergelincir ke pagi. Dan kebetulan, waktu kejadian ini, saya masih berstatus seorang yang single dan happy. Jadi, tak masalah juga kapan saya mau pulang. Soalnya memang tak ada yang menunggu kepulangan saya, dan pastinya tak akan ada wajah cemberut menyambut saya yang pulang pagi itu.

   Suatu dinihari, ketika saya pulang dengan naik omprengan, di dalam minibus plat hitam itu sudah ada beberapa orang penumpang lain, yang salah satunya adalah perempuan berwajah khas seorang (maaf) idiot. Melihat penampilannya, saya segera mafhum bahwa perempuan berwajah idiot itu adalah pengemis. Saya duduk di dekatnya. Ketika omprengan berhenti di lampu merah, kernet omprengan bertanya pada perempuan itu, “Gimana pendapatan hari ini? Bagus?”

   Dengan suara dan tutur bahasa khas orang idiot, perempuan itu menjawab, “Payah. Sepi. Tanggal tua, sih. Cuman dapet 78 ribu, nih.”

   Hah? Astaga...! Saya tercengang. Dia bilang, payah? Sepi? Tanggal tua? Tapi bisa dapat 78 ribu sehari! Rasanya seringaian saya terasa garing banget. Keki juga mendengarnya. Tapi sudahlah, itu ‘kan rejeki dia, batin saya akhirnya, ogah usil. Dua minggu berikutnya, eh, saya se-omprengan lagi sama pengemis berwajah idiot itu! Dan dinihari itu, terus-terang, saya lantas berharap akan mendengar sesuatu yang baru darinya. Mujur betul, rupanya pengemis itu lagi membicarakan soal resepsi pernikahan anak perempuannya minggu depan. “Gue udah bikin undangan seribu biji. Tapi masih kurang juga. Jadi, elu-elu gue undang pake mulut aje, ye?” kata pengemis idiot itu pada kernet dan sopir omprengan. Napas saya langsung terasa sesak mendengarnya. Seribu lebih undangan? Wuih, kayak resepsi pernikahan anak pejabat!

   “Iya, deh, nggak apa-apa,” sahut kernet. “Emang kawinannya di mana?”

   “Di gedong pertemuan baru yang deket kecamatan itu. Tau, kan? Sebelom jam dua belas, ye? Biar kebagian makanan lu,” jelas pengemis idiot itu.

   Walah…! Saya terbengong lagi. Seribu lebih undangan di gedung pertemuan baru? Berapa biayanya itu? Ups, mendadak saya tersadar, kenapa harus heran? Kalau calon menantunya ternyata anak pejabat bagaimana? batin saya, lagi-lagi berusaha menepis pikiran usil. Agak sinis juga, sih....

   Paginya, saya berangkat ke kantor dengan biskota, eh, pengemis berwajah idiot itu naik di tengah perjalanan. Lalu, dengan ke-idiot-annya ia mengamen. Menyanyi (tak jelas lagu apa) sambil bertepuk tangan tak teratur iramanya. Usai menyanyi dan bertepuk tangan. Ia menadahkan tangan pada tiap penumpang sambil bilang, “Sedekahnya, Pak, Bu, seiklasnya aja….”

   Saya memberinya seribu rupiah, dengan senyum. Soalnya dia minta. Jadi, ya saya kasih. Pasalnya orangtua saya bilang, kalo ada yang minta kepada kita, ya kita harus memberinya. Kenapa? Ya soalnya kalo kita minta sama Tuhan, kita juga berharap akan dikasih, ‘kan?


No comments:

Post a Comment