Thursday, June 30, 2011

Emang Kita ini Binatang?

Sekarang zamannya maling teriak maling.
Saya pernah tersinggung banget sama perkataan seorang teman yang baru pulang dari luar negeri, soalnya dia bilang, “Orang Indonesia ini memang harus dijajah seperti zaman Belanda dulu, dan diperlakukan seperti binatang kayak oleh polisi Belanda dulu, dipecut kalo melanggar aturan, supaya mau hidup teratur dan mematuhi hukum.”
Wuih, sompret banget! Maka saya bilang ke dia, “Eh, Inlander gak tau diri! Elu tuh, biar pun status lu itu sebagai yang punya negara Belanda, elu tuh tetep aja orang Indonesia. Rambut lu item, kulit lu coklat, mata lu juga item, dan jeroan lu itu... juga jeroannya orang Indonesia! Jadi, kalo lu pikir sodara sebangsa lu ini kayak binatang, ya elu juga sama. Cuma bedanya, lagak lu aja yang kayak bangsa penjajah!”
Kita harus diatur oleh polisi berpecut?
Saya tak memberi dia kesempatan menangkis, saya serbu terus – emosi soalnya, “Soal hidup mematuhi aturan dan hukum itu kan pilihan masing-masing. Emangnya kalo sodara sebangsa lu ini lebih suka hidup semau-maunya dan nggak mau ngikutin aturan dan hukum kenapa? Kalo mereka lebih suka hidup pake cara binatang kenapa? Lagian kan nggak semua orang Indonesia nggak tau aturan dan nggak mematuhi hukum begitu! Mereka itu kan cuma sebagian kecil aja dari ratusan juta penduduk Indonesia, paling-paling juga cuma mereka-mereka yang lebih suka ‘hidup dengan cara binatang’ itu.”
Saya terus membombardir, “Dan keblingernya mereka itu juga bukan salah meraka, lho! Itu salah pemerintah yang dulu! Iya, salah pemerintah, karena sudah membuat mereka jadi keblinger begitu. Juga salah sistem pendidikan kita! Nah, buktinya, biarpun sekolahan udah digratiskan tapi hasilnya tetep aja pada keblinger. Tetep pada nggak tau aturan. Tetep nggak patuh sama hukum. Yang ada malah oknum-oknum pendidiknya yang jadi makin pinter cari kaya! Lha, apa itu salahnya bangsa kita?” Sampai di situ saya bingung. Kaget. Lha... salah siapa, ya?
Menyeberang di bawah jembatan penyeberangan.
Teman saya itu nyengir sinis melihat saya jadi bingung dan kaget begitu. Dia kembali ke Belanda keesokan harinya dan memutuskan tak akan kembali lagi ke Indonesia. Saya bilang ke dia, “Bagus! Lu bales tuh orang-orang Belanda! Jajah mereka!” Tapi bulan kemarin saya mendapat kabar tentang teman saya itu. Dia ditangkap karena korupsi. Lho... di sana juga bisa, toh?
Kemarin ini, istri saya ngoceh panjang-lebar di halte busway Dukuh Atas 2. Pasalnya, kalo sore (jam pulang kantor), penumpang busway harus rela antri di atas jembatan yang menghubungkan halte Dukuh Atas 1 dengan halte Dukuh Atas 2, yang panjangnya 100 meter lebih (mungkin 200). Dan sore itu, antrian memang luar biasa panjang – karena kedua halte hampir tersambung oleh antrian itu.
Antrian penumpang busway di Dukuh Atas 2.
Nyaris satu jam kami menjadi anggota ular-ularan calon penumpang busway itu. Sampai kaki dan pinggang rasanya mau patah. Namun ketika akhirnya kami sampai di posisi depan, tahu-tahu (entah dari mana datangnya) ada perempuan menyerobot dan langsung mengambil posisi di depan kami. Walah! Keruan saja istri saya mencak-mencak, menegur, mengomeli, mengusir, dan segala macam perkataan yang dengan tanda seru. Tapi hebatnya, itu perempuan tenang-tenang saja, tuh! Malah asyik chatting dengan Black Berry-nya lagi. Ya istri saya jadi seperti radio rusak. Mengoceh tak habis-habis, dan sangat tak enak di dengarlah pastinya. Tapi perempuan penyerobot itu cuek saja, dan terus “autis” (chatting). “Dasar pithecanthropus pake BB!” gerutu anak muda di belakang saya.
Beginilah evolusi koruptor itu.
Saya jadi teringat teman saya yang berhasil menjadi koruptor di negeri beradab itu. Ingat soal polisi Belanda dengan pecut itu. Oalah... apa untuk mengantri saja kita harus diawasi oleh polisi berpecut? Emangnya kita ini binatang? Istri saya sewot mendengar saya ngomong soal polisi berpecut itu. Lha, memangnya kita ini apa, kalau tetap tidak bisa diatur?
Pusiiiiiing....

No comments:

Post a Comment