Wednesday, June 8, 2011

Cuma Pinjaman

Milik Tuhan.
Akhirnya Ibnu punya mobil! Hasil dia dan isterinya menabung sambil hidup beririt-irit hampir lima tahun. Yaaa, biar cuma mobil bekas 80%, dan bentuknya agak ketinggalan zaman, so what gitu lho? Yang penting, bannya empat, ada mesinnya, tak bikin dia kehujanan, atau kepanasan, atau keanginan. Yang paling penting lagi: masih layak jalan, malah bisa diajak ngebut di jalan bebas hambatan.

   Maka, sejak punya mobil itu, kehidupan Ibnu sekeluarga pun berubah. Cari sarapan hari Minggu tak perlu lagi konvoi mencarter tiga ojek sekaligus. Berangkat ke kantor jadi lebih adem dengan AC – biarpun pas-pasan, karena lebih banyak anginnya daripada ademnya; meski tetap saja stres dikepung macet. Isteri dan anak-anaknya juga ikut “kecipratan”: selesai belanja di supermarket tak perlu repot cari taksi; dan ke sekolah tak terkantuk-kantuk lagi di mobil jemputan. Pokoknya hidup Ibnu sekeluarga jadi lebih okelah.


Belanja jadi lebih pede.
   Kebahagiaan dan eforia Ibnu seolah tak akan habis-habis. Kerabat, teman, dan “seluruh dunia” seakan siap disambanginya. Dan, ia merasa sempurna sudah sebagai “seseorang”. Sampai suatu hari, ia mendapati mobil kebanggaannya itu muksa dari “garasi” di depan rumahnya. Lenyap bagai ditelan setan!

   “Kirain yang subuh-subuh tadi bawa mobil ke luar rumah itu Pak Ibnu sendiri,” ujar Satpam kompleks, kecut. “Pantes kok langsung ngebut waktu saya kasih tangan....”


Whoaaaaaaa...!
   Ibnu merasa langit di atasnya runtuh. Kiamat. Tamat. Kebanggaannya, harga dirinya yang beberapa jam lalu masih berkibaran dengan gagah, kini tumpas tanpa bekas. Mobil yang ia beli dari memangkas uang belanja rumahtangga dan tabungan hari tuanya itu... ah!

   Ibnu merasa dikhianati oleh nasib, merasa dipermainkan oleh Tuhan. Ia kecewa. Marah. Geram. Mangkel. Frustrasi.

   Maka, ia berusaha melacak dan mencari kesana-kemari. Dengan bantuan polisi maupun terawangan para cenayang. Namun, hasilnya hanya kekecewaan dan kesedihan yang semakin mendalam. Soalnya dia juga harus sambil memerah isi dompet untuk semua itu.


Sahabat bisa "pergi" kapan saja....
   Berbulan-bulan ia seperti orang “sinting”. Sering berlama-lama berdiri di pinggir jalan dan mencermati tiap mobil yang mirip dengan mantan mobilnya. Tapi, nol besar. Jangankan melihat kelebat mobilnya, bahkan yakin akan pernah melihat mobil yang serupa dengan mobilnya pun tidak pernah tersirat. Memang banyak mobil sejenis mantan mobilnya yang lalu-lalang di jalan, dengan warna yang sama, dengan suara knalpot yang mirip, dengan asesoris yang persis, namun tak satu pun yang mengisyaratkan sangkutan-rasa bahwa itu mobilnya. Semuanya berlalu begitu saja sebagai mobil yang asing di hatinya....

   Maka, setelah melewati ratusan hari dalam kekecewaan, ia jadi kian marah pada dirinya sendiri; pada nasibnya; pada Tuhan. Merasa sia-sia mengadu, berdoa, bahkan menghujat....

   Sampai pada suatu petang, ia mendapat kejutan lain. Sebuah kabar duka datang. Tetangganya, teman mengobrolnya, sahabatnya, tahu-tahu dikabarkan tewas dalam kecelakaan lalu-lintas. Padahal tadi malam mereka masih saling canda sambil siskamling. Bahkan, sejam yang lalu, temannya itu juga masih kirim SMS mengajak makan di angkringan depan komplek – malam ini, rencananya.


Dari saripati tanah, akan kembali jadi saripati tanah....
   Di depan jenazah almarhum, Ibnu kemudian duduk dengan wajah dan pikiran kosong. Mendadak, ia merasa ditempeleng oleh kekuataan gaib yang mengingatkannya akan kefanaan dunia. Dan bukti nyatanya ada dihadapannya. Tubuh sahabatnya yang telah terbujur tanpa daya itu. Padahal, rasanya baru saja mereka tertawa bersama, saling ejek, saling menasihati, lalu tahu-tahu dia telah membujur mati begitu.

   Tak ada yang abadi, ternyata. Semuanya bisa datang dan pergi tanpa bisa dicegah. Mobilku, sahabatku.... Pastinya juga isteriku, anak-anakku, bahkan... nyawaku! Semuanya terserah Tuhan. Semuanya milik Dia. Semuanya bisa diambil kembali kapan pun oleh-Nya selaku pemilik yang paling sahih.

   Mendadak Ibnu merasa malu. Samar-sama ia mendengar nuraninya menasihatinya, “Kalau tak mau kehilangan, ya jangan pernah merasa memiliki; karena semua ini cuma pinjaman. Mobil yang hilang itu, temanmu, bahkan hidupmu sendiri....”

   Sambil tengadah ke langit, Ibnu menyeringai. Sadar jika Tuhan telah memberinya pencerahan.

No comments:

Post a Comment