Saturday, June 11, 2011

I . Z . I . N

Manusia memang diciptakan untuk menjadi makhluk yang paling unik. Namun yang paling khas adalah, karena dikaruniai akal dan nafsu, maka logikanya jadi sering kacau. Sehingga, menarik kesimpulan sendiri adalah perbuatan rutin yang paling suka dilakukannya, yang salah satunya – dan paling gawat ialah, “Tuhan itu tak adil, tidak memihak pada yang lemah dan teraniaya.” Hal itu, dikarenakan manusia punya kecenderungan untuk mengukur adil dan tidak adil lewat kacamatanya sendiri, bukan sesuai kehendak Ilahi. Padahal, manusia telah diingatkan bahwa kehidupan ini adalah milik Tuhan yang Maha Kuasa.
   Pasal ketidak-adilan itulah yang disoal oleh seorang Ibu, tatkala dua bayinya yang sedang lucu-lucunya meninggal dunia. “Kenapa bukan anak orang lain saja,” gugatnya, kepada Tuhan. Ia merasa amat tak rela. Dan sesungguhnya, itulah buah nyata dari erosi iman yang dikikis oleh kecintaan yang berlebihan terhadap duniawi, khususnya kepada sesama manusia.


   Sikap yang bertolak belakang ditunjukkan oleh Barakah ‘Abidah di Arabia. Ia adalah orang yang bergelimang keberhasilan. “Namun, aku masih saja khawatir kalau penghasilanku sama sekali tidak berarti di hadapan Allah. Karena itu, aku menjadi sedih dan berpikir, sekiranya Allah memang benar-benar menginginkan kekayaanku, Dia pasti bakal membinasakan harta dan anak-anakku,” katanya.

   Dan nyatanya, hal itu kemudian terbukti. Yang terjadi kemudian, anak-anak dan hartanya binasa tak tersisa. “Namun, semuanya toh malah membuatku bahagia. Karena aku curiga, jangan-jangan Allah menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagiku melalui berbagai macam ujian ini. Dan inilah cara-Nya mengingatkan diriku serta menjadikan jiwaku suci,” ujarnya.

   Menyucikan harta juga dilakukan oleh seorang perempuan non-muslim asal Sumatera. Ia suka membelikan peti mati kepada keluarga yang tak mampu. Setiap minggu, setidaknya dua atau tiga peti pasti disumbangkannya. “Saya merasakan suatu kenikmatan tersendiri setiap kali saya telah membantu mereka. Kenikmatan yang sangat nikmat,” ungkapnya.

   Namun, ada yang tetap mengganjal di dalam kenikmatan itu. Soalnya adalah, uang untuk membeli peti mati itu bukan uang hasil jerih payahnya sendiri, melainkan hasil keringat suaminya. “Saya ingin bisnis sendiri supaya bisa membelikan peti mati untuk orang-orang tak mampu itu,” ujarnya.


   Apabila pemberian itu atas seizin suaminya, pasti makna dan barokahnya terasa berbeda, tanpa ada ganjalan seperti yang selama ini dirasakannya. Itu mirip dengan kisah Narada dalam kisah pewayangan. Dia adalah putra seorang pembantu. Dia orang yang tidak terdidik. Namun, terkadang apabila ibunya sedang berhalangan, maka dialah yang menggantikan tugas untuk melayani para resi itu.

   Dalam Srimad-Bhagavata diuraikan bahwa Narada, yang mencuci piring-piring bekas makan para penyembah mulia itu, ingin mencicipi sisa-sisa makanan mereka itu. Maka ia pun lantas minta izin kepada para resi. “Bolehkah saya makan makanan sisa ini?” tanya Narada, dengan penuh harap akan diizinkan.

   Dan rupanya, izin itulah yang membebaskannya dari segala akibat dari dosa. Dan ternyata pula, sisa makanan para resi itulah yang membuat hati Narada berangsur-angsur sesuci hati mereka. Bahkan, melalui pergaulannya dengan para resi itu, minat hatinya untuk memuji kebesaran Tuhan berkembang dengan sangat pesat.

   Cerita tentang izin ini juga mengingatkan pada kisah seorang budak perempuan yang cantik, yang bernama Tuhfah, di abad IX, seperti dikisahkan dalam “Perempuan-perempuan Sufi” oleh Dr. Javad Nurbakhsh. Tuhfah adalah orang yang tak mengenal tidur dan makan. Akhirnya, ketika kondisinya makin gawat, majikannya mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Tuhfah ini, meskipun selalu berpakaian mewah dan wangi, namun kedua kakinya dirantai. Ia sering melantunkan bait-bait syair cinta.

   Wahai, aku tidak gila tapi hanya mabuk!
Kalbuku sadar betul dan amat bening.

   Satu-satunya dosa dan kesalahanku ialah dengan tidak tahu malu menjadi kekasih-Nya....

   Dan setelah melantunkan syair itu, Tuhfah jatuh pingsan. Begitu siuman, ia ditanya siapa yang engkau cintai itu?

   “Aku mencintai Zat yang telah membuatku sadar akan anugerah, yang berbagai macam karunia-Nya menyebabkanku dikenai kewajiban, yang dekat dengan segenap kalbu, yang mengabulkan orang-orang yang membutuhkan,” ujarnya.

   Syekh Al Saqati, ketika mendengar syair itu, tergetar kalbunya. Ia menyimpulkan bahwa Tuhfah sesungguhnya tidak gila. Maka ia menyuruhnya pergi ke mana saja ia mau. Namun gadis itu menolak dan menjawab, “Aku hanya akan pergi jika majikanku mengizinkan. Kalau tidak, aku akan tetap di  sini.” Jawaban itu membuat Al Saqati tertegun. “Demi Allah,” katanya, dalam hati, “ia lebih bijak daripada diriku....”

   Tanpa disangka-sangka, Majikan Tuhfah datang mengunjungi Tuhfah. Kepada Al Saqati ia bercerita bahwa wanita yang mahir menyanyi dan bermain harpa itu ia beli seharga 22.000 dirham. “Semua kekayaan dan modalku habis,” tuturnya. Ia berharap memperoleh keuntungan dari Tuhfah. Namun ternyata, Tuhfah justru lebih sering termenung-menung, menangis, dan membuat orang lain tidak bisa tidur. Itu sebabnya dia lalu dijebloskan ke rumah sakit jiwa oleh Sang Majikan.

   Mendengar itu, Al Saqati lalu berkata, “Kalau begitu, berapa pun harga yang kau minta, akan kubayar.”

   Sang Majikan, dan semua orang yang mendengar itu, lalu mencemooh Al Saqati. Karena mereka tahu bahwa Al Saqati tak mungkin punya uang, apalagi dalam jumlah banyak, yang nilainya setara dengan harga Tuhfah yang dikehendaki majikannya. Dengan berlinang airmata kesedihan, Al Saqati pulang ke rumahnya.

   Malamnya, pintu rumah Al Saqati diketuk orang. Al Saqati membukakan pintu. Orang itu mengaku bernama Ahmad Musni. Ia datang dengan membawa lima pundi uang. Ia mengaku datang atas petunjuk bisikan “suara gaib” agar Al Saqati bisa membebaskan Tuhfah. Maka, kontan Al Saqati bersyukur mencium tanah. Esoknya, ia ajak tamunya itu bertandang ke rumah sakit jiwa.

   Penebusan itu membuat mata Tuhfah berlinang rasa syukur. Namun aneh, pada saat itu juga Sang Majikan datang sembari meratap dan menangis. Al Saqati menenangkan Sang Majikan dan bilang, “Sudahlah, jangan menangis lagi. Harga yang kau minta telah kubawakan – dan dengan keuntungan lima ribu dirham.”

   “Demi Allah, tidak, Tuan,” tolak Majikan Tuhfah.

   Karena mengira Sang Majikan merasa nilai keuntungan itu terlalu kecil, maka Al Saqati menambahkan jumlah keuntungan yang diberikannya menjadi 10.000 dirham.

   Namun lagi-lagi Sang Majikan menolak, “Tidak, Tuan. Bahkan sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk membeli Tuhfah, aku tidak akan menerimanya.” Ia lalu mengatakan bahwa ia akan membebaskan Tuhfah tanpa penebusan. Maka, pergilah Tuhfah dengan berlinang airmata bahagia dan rasa syukur.

   Dalam kehendak Allah, waktu pun berlalu. Al Saqati, Majikan Tuhfah, dan Ahmad Musni pergi menunaikan haji. Namun Ahmad wafat dalam perjalanan. Pada waktu melakukan thawaf, Al Saqati mendengar ratapan aneh yang amat memilukan – ialah jerit kesedihan dari hati yang terluka. Namun Al Saqati tidak mengenali orang yang menjadi sumber ratapan itu. “Mahasuci Allah! Tidak ada Tuhan selain Dia. Dulu aku pernah dikenal. Kini aku tidak lagi dikenal. Aku ini Tuhfah,” kata Tuhfah.

   Dan... masya Allah! Begitu diberitahu bahwa mantan majikannya juga sedang berhaji, Tuhfah berdoa sebentar, kemudian roboh di samping Ka’bah dan seketika itu juga ia wafat. Mantan Majikan Tuhfah yang merasa sedih karena melihat Tuhfah telah tiada, kemudian terjatuh di samping Tuhfah, dan ia pun meninggal dunia pula.

   Takdir di depan rumah Allah itu, tentu saja terjadi atas izin-Nya juga....

No comments:

Post a Comment