Sunday, June 5, 2011

Kaki Lima vs Tibum, Siapa Pemenangnya?

Lapak di depan mobil Satpol PP. Seperti tikus menari
di depan kucing.
Saya bukannya membenci pedagang kaki lima. Juga, saya sudah tak punya alasan lagi buat merasa terancam oleh petugas penertiban umum, atau yang sekarang disebut Satpol PP itu. Tapi sampai kapan pun, malangnya, saya terpaksa harus terus punya kaitan dengan dua belah pihak yang selalu bersengketa seperti kucing dan anjing ini.

   Saya ini tadinya anak pedagang kaki lima. Dan saya masih ingat betul bagaimana rasanya jadi anak pedagang kaki lima yang lagi menghadapi amukan petugas tibum. Kebencian, amarah, dan rasa tak berdaya membuat hati terasa sangat-sangat-sangat sakit. Rasanya, kalau mampu, ingin betul saya bunuh semua petugas tibum saat itu. Tapi untungnya, hal itu tak pernah terjadi. Syukurlah.


   Karena itu, saya bisa memahami bagaimana perasaan para pedagang kaki lima dan keluarganya saat mereka berhadapan dengan petugas tibum, yang dari waktu ke waktu, ternyata tidak juga berubah tabiatnya di saat menjalankan tugas. Arogan, kasar, merampas, dan tak ada kompromi. Pokoknya, kesannya, mereka itu sekumpulan orang yang suka bertindak sewenang-wenang.

   Tapi kenapa sih mereka kok sampai bisa bersikap seperti itu? Yang jelas, karena mereka punya kuasa. Mereka punya kekuasaan dan alasan untuk mempergunakan kekuasaannya itu. Tugas mereka adalah menjaga ketertiban, dan karena itu bila ada yang tak tertib akan mereka libas tanpa ampun. Apa mereka salah karena itu? Tidak juga. Tapi apa mereka memang selayaknya harus bertindak tanpa ampun seperti itu? Sesungguhnya, seharusnya, mereka juga tetap mempergunakan hati nuraninya.


Kalau dibiarkan, pengguna jalan lainnya tak akan kebagian.
   Lalu, pedagang kaki limanya sendiri bagaimana? Yang sudah pasti, mereka memang pihak yang melanggar ketertiban. Jadi, ya mereka memang patut ditindak, ditertibkan, dan dihukum. Dengan cara seperti apa? Diobrak-abrik - lalu lapak dan dagangan mereka dihancurkan, atau disita? Atau... hanya diminta bersikap tertib saja - supaya menyingkir dari jalan agar tidak menimbulkan kemacetan lalu lintas? 

   Bagusnya, memang pilihan yang kedua yang diterapkan. Petugas tibum meminta agar para pedagang kaki lima memindahkan lapak dan dagangannya ke pinggir jalan, atau pindah ke lokasi yang sudah disediakan, supaya jalanan tidak macet dan situasi menjadi tertib teratur. Tapi apa memang bisa begitu? Sayangnya, tidak.

   Karena kebanyakan pedagang kaki lima itu juga orang-orang yang bandel dan menjengkelkan. Tidak disiplin, mau enaknya sendiri, dan brengsek. Di banyak kasus, kalau diminta baik-baik mereka justru akan membandel. Ngotot tak mau. Tapi kalau dipaksa sedikit, terus marah, mengamuk, seolah-olah sudah dizalimi.

   Atau kalau misalnya mereka mau patuh sama petugas, itu pun cuma sekadar basa-basi - kesannya malah seperti ngeledek. Ada petugas, patuh, minggir. Tapi kalau petugas pergi, mereka balik lagi. Keterlaluan sekali....

   Jadi, harusnya bagaimana?


Tukang ojek tak mau kalah, ikut memperparah keadaan pinggir
jalan yang sudah semrawut dan menyempit.
   Kenyataannya, pemerintah sudah menyediakan lokasi-lokasi khusus untuk pedagang kaki lima, tapi kebanyakan lokasi itu menjadi mubazir karena tak dipergunakan. Kenapa? Sudah pasti karena bermacam alasan sepihak yang sebenarnya lebih merupakan pengejawantahan dari sikap tak mau diatur, mau enak sendiri, mau menang sendiri, dan kurang ajar. Sebab faktanya, pembeli pasti akan datang ke mana pun pedagang berada - selama si pembeli memang merasa perlu untuk membeli. Jadi, sangat tidak logis kalau pembeli dijadikan alasan untuk tak mau menempati lokasi yang telah disediakan pemerintah.

   Kenyataan lainnya, petugas tibum juga suka bertindak sewenang-wenang di saat menjalankan tugasnya. Soalnya, konon, kebanyakan mereka adalah mantan preman. Jadi, seharusnya mereka memang ditatar lagi. Diarahkan agar bisa bertindak benar pada saat menjalankan tugas. Karena sebenarnya yang dituntut dari mereka hanyalah sikap tegas, namun tidak anarkis. Dan itu bukan hal yang sulit, 'kan?


Mereka butuh mencari nafkah, Tibum harus melaksanakan tugasnya, 
sedang pengguna jalan lain juga berhak atas jalanan dan trotoar.
   Sebetulnya pedagang kaki lima di zaman reformasi ini lebih beruntung bila dibandingkan dengan pedagang kaki lima di masa orde baru. Soalnya di zaman reformasi ini, pedagang kaki lima biasanya ditertibkan karena mereka telah mengganggu keteriban umum. Jadi, bisa dibilang wajar. Karena mereka telah bertindak melanggar aturan.

   Tapi di zaman orde baru, yang pernah saya alami, pedagang kaki lima seringnya ditertibkan karena akan ada tamu negara datang berkunjung. Jadi, pedagang kaki lima - yang sudah tertib pun, ditertibkan karena pemerintah merasa malu kalau tamu sampai melihat kenyataan bahwa di negeri ini masih banyak orang miskin - yang salah satunya ditandai dengan maraknya pedagang kaki lima itu. Begitulah.

No comments:

Post a Comment