Friday, September 16, 2011

Kebahagiaan Memberi

Ketika berjalan-jalan di taman dengan orangtuanya, seorang anak merengek minta dibelikan jagung bakar. Si Ibu, karena suatu pertimbangan tertentu, dengan sedikit enggan memberi Si Bocah selembar uang, dan mengawasinya dari kejauhan. Si Bocah mendatangi penjual jagung bakar dan berjongkok di dekatnya. Ia dengan tekun mengikuti gerak-gerik nenek tua penjual jagung bakar memainkan kipas bambunya. Mata kanak-kanaknya membulat terheran-heran ketika terjadi pletikan api karena letupan biji jagung, asap yang menari-nari di udara oleh hembusan angin dari kipas, serta harum jagung terbakar yang tertebar di atmosfir.

Nenek tua penjual jagung yang berpakaian lusuh itu tersenyum dan melirik anak kecil yang jongkok di dekatnya. Mata tuanya meredup, melayang entah ke mana. Ada sesuatu yang menggoda ingatannya. Sesekali, dengan gemas, dicubitnya pipi anak itu. Ketika ia selesai membakar sebuah jagung, diberikannya jagung itu kepada Si Bocah yang sedari tadi memang menunggunya dengan penuh harap. “Ini, ambil saja buatmu, Nak. Tak usah bayar,” katanya, dengan senyum tulus.
Mengetahui anaknya mendapat jagung gratis, Si Ibu merasa gembira dan berkata kepada suaminya, “Lumayan, kita dapat rejeki satu jagung bakar.” Mereka kemudian meninggalkan taman kota itu dengan perasaan gembira. Sedan yang mereka kendarai menggelincir pergi, meninggalkan Si Nenek yang merasa bahagia karena telah bertemu dengan Si Bocah yang telah menggugah suatu perasaan di dalam hatinya. Bocah yang telah membuatnya merasa bahagia karena telah bisa memberi kepada Si Bocah, meski mungkin tak seberapa nilainya bagi anak orang kaya itu.
Ada hal yang hilang di sini. Alangkah sederhananya hidup ini bagi mereka, meski dari sudut pandang yang bertolak belakang. Si Nenek dengan kesederhanaannya sebagai penjual jagung bakar, merasa bahagia karena bisa memberi sesuatu kepada Si Bocah, satu buah jagung bakar yang mungkin nilainya cukup besar karena itu adalah bagian dari keuntungannya. Namun bersamaan dengan itu, dia memperoleh kebahagiaan yang tak bisa dinilai dengan apa pun, karena bisa memberi itu. 
Sebaliknya bagi Si Bocah, jagung bakar itu bukan sesuatu yang sangat bernilai – karena dia punya uang untuk membelinya. Akan tetapi keinginan yang ada padanya menjadikan jagung bakar itu sangat penting. Karena ia merupakan sesuatu yang amat diidamkannya – sehingga seakan-akan sangat bernilai. Dan nilai itu menjadi semakin besar karena ternyata ia memperolehnya dengan cara yang sangat istimewa, yaitu diberikan atas dasar rasa sayang – karena dirinya dinilai amat berharga sehingga patut diberi. Tanpa disadarinya, dia telah memberi sesuatu (perasaan di dalam hati Si Nenek penjual jagung) sehingga untuk itu dia layak untuk diberi.
Di sisi lain, orangtua Si Bocah yang orang berpunya itu – yang sudah pasti tahu betul bahwa jagung bakar nilainya sebenarnya tidaklah seberapa bagi mereka, justru merasa mendapat rejeki karena anak mereka memperoleh jagung bakar secara gratis. Tidak terbersit di hati mereka bahwa sebuah jagung bakar itu memiliki nilai yang cukup besar bagi Si Nenek, sehingga mereka merasa tidak perlu untuk balas memberi sesuatu kepada Si Nenek – yang setidaknya merupakan penghargaan mereka atas niat baik Si Nenek kepada anak mereka.
Bisa jadi, hal seperti itu kerap terjadi pada kita. Hanya saja, seperti orangtua Si Bocah, kita pun hanya terpaku pada rasa senang menerima pemberian, tanpa memikirkan arti sesuatu yang diberikan itu  bagi si pemberi. Sehingga tak tersirat keinginan untuk balas memberi. Dan karena itulah, kita terkadang merasa heran pada orang-orang yang masih mau memberi di tengah kekurangannya. Sebab, kita tidak bisa memahami bagaimana rasanya apabila kita bisa memberi dengan tulus. Karena hanya orang-orang yang tulus saja yang bisa merasakan kebahagiaan seperti itu.

No comments:

Post a Comment